Kamis, 21 Januari 2010

KISI KISI SOAL PAI

LAMPIRAN :
KEPUTUSAN BERSAMA KETUA BADAN STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN
NOMOR .......TAHUN 2009 TENTANG UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
KISI-KISI SOAL UJIAN SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL
TAHUN PELAJARAN 2009/2010

A. Sekolah Dasar (SD)
No. Standar Kompetensi Lulusan Kemampuan yang Diuji Indikator
1.


Menyebutkan, menghafal, membaca dan mengartikan surat-surat pendek dalam Al-Qur’an, mulai surat Al-Fatihah sampai surat Al-‘Alaq
Membaca QS Al-Fatihah dan QS Al Ikhlas dengan lancar. Disajikan kutipan beberapa ayat surat Al Fatihah, siswa dapat menentukan bacaan ayat 5.
Disajikan beberapa ayat Al Quran, siswa mampu menentukan bacaan surat Al-Ikhlas ayat 3.
Membaca QS Al-Kautsar dengan lancar.
Disajikan potongan ayat surat Al Kautsar, siswa mampu melengkapi.
Membaca QS An-Nashr dengan lancar.
Disajikan beberapa potongan ayat Al Quran, siswa memilih salah satu ayat surat An Nashr.
Membaca QS. Al ‘Ashr dengan lancer. Disajikan surat Al ‘Ashr ayat 2, siswa mampu menjelaskan hukum bacaan yang bergaris bawah.
Membaca QS Al-Lahab dan Al-Kafirun. Disajikan potongan Surat Al Kafirun ayat 6, siswa dapat melengkapi.
Mengartikan QS Al-Lahab dan Al-Kafirun.
Disajikan surat Al Lahab ayat 3, siswa dapat menentukan artinya.
Membaca QS Al-Maun dan Al-Fiil. Disajikan potongan bacaan surat Al Fiil ayat 1, siswa mampu melengkapi.
Mengartikan QS Al-Maun dan Al-Fiil. Disajikan arti surat Al Maun, siswa dapat menentukan arti surat Al Maun ayat 2.
Membaca QS Al-Qadr dan QS Al-‘Alaq ayat 1-5. Disajikan beberapa ayat Surat Al Qadar, siswa dapat menentukan ayat 3.
Disajikan beberapa Surat Al ‘Alaq, siswa dapat memilih ayat 5.
Mengartikan QS Al-Qadr dan QS Al-‘Alaq ayat 1-5. Disajikan surat Al Alaq ayat 2, siswa dapat menentukan artinya.
2.


Mengenal dan meyakini aspek-aspek rukun iman dari iman kepada Allah sampai iman kepada Qadha dan Qadar
Mengartikan sifat jaiz Allah SWT. Ditampilkan ayat/narasi kebebasan Allah SWT untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, siswa dapat menentukan pengertian sifat jaiz bagi Allah SWT.
Menyebutkan tugas-tugas Malaikat. Disajikan ilustrasi rezeki Allah SWT tentang kesuburan alam, siswa mampu menentukan nama malaikat yang melaksanakan tugas tersebut.
Menyebutkan nama-nama kitab Allah SWT.
Ditampilkan nama-nama kitab suci yang diturunkan Allah, siswa mampu mengemukakan kitab suci yang diterima nabi Daud AS.
Menjelaskan Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir. Ditampilkan fungsi kitab suci Al Qur’an, siswa mampu menyimpulkan Al Quran penyempurna kitab terdahulu.
Menyebutkan nama-nama Rasul Ulul Azmi dari para Rasul. Menerangkan peristiwa yang melatarbelakangi seorang Rasul mendapat julukan Ulul Azmi.
Membedakan Nabi dan Rasul. Disajikan persamaan antara Nabi dan Rasul, siswa mampu mengemukakan perbedaannya.
Menyebutkan nama-nama dan tanda-tanda Hari Akhir.
Ditampilkan cerita hari kiamat, siswa dapat menentukan nama-nama Hari Akhir.
Ditampilkan sebuah gambar, siswa dapat mengemukakan tanda-tanda Hari Akhir.
Menunjukkan contoh-contoh Qadha dan Qadar. Ditampilkan melalui cerita, siswa dapat mengemukakan contoh Qadha Allah SWT.
Menunjukkan keyakinan terhadap Qadha dan Qadar. Ditampilkan melalui cerita, siswa dapat mengemukakan sikap menerima Qadar Allah SWT.
3. Menceritakan kisah nabi-nabi serta mengambil teladan dari kisah tersebut dan menceritakan kisah tokoh orang-orang tercela dalam kehidupan nabi. Menceritakan kisah Nabi Adam AS. Disajikan cuplikan kisah Nabi Adam AS, siswa dapat menyimpulkan penyebab Nabi Adam diturunkan ke dunia.
Menceritakan kisah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Disajikan cuplikan kisah Nabi Muhammad SAW, siswa dapat mengemukakan nama pengasuh Nabi sejak lahir sampai umur 4 tahun.
Menceritakan kisah Nabi Ismail AS. Menyimpulkan jawaban Nabi Ismail ketika diberitahu bahwa atas perintah Allah SWT ayahnya akan mengorbankannya.
Menceritakan kisah Nabi Musa AS. Disajikan cuplikan kisah Nabi Musa AS, siswa dapat menentukan Raja yang memusuhi Nabi Musa AS .
Menceritakan kisah Nabi Isa AS. Menyebutkan nama kaum yang setia kepada nabi Isa AS.
Menceritakan kisah Khalifah Abubakar RA. Menentukan sikap Abu Bakar Siddiq pada saat mendengar Nabi SAW Isra Mi’raj.
Menceritakan perilaku Musailamah Al Kadzab. Mengemukakan sebab Khalifah Abu Bakar Siddiq RA memerangi Musailamah Al-Kadzab.
Menceritakan perjuangan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Menyimpulkan bentuk perjuangan Kaum Muhajirin dan Anshar.

4. Berperilaku terpuji dalam kehidupan sehari-hari serta menghindari perilaku tercela
Meneladani perilaku taubatnya Nabi Adam AS. Ditampilkan melalui cerita, siswa dapat menentukan pentingnya taubat.
Meneladani perilaku masa kanak-kanak Nabi Muhammad SAW. Mengartikan perilaku unggulan (gelar) Nabi Muhammad SAW yang dikagumi oleh bangsa Quraisy.
Meneladani perilaku Nabi Ibrahim AS.
Disajikan melalui penggalan cerita, siswa mampu menerangkan bukti ketaatan Nabi Ibrahim AS terhadap Allah SWT.
Meneladani Nabi Ismail AS. Menerapkan tentang sikap patuh seorang anak terhadap orang tuanya.
Meneladani perilaku Nabi Ayyub AS. Meneladani sikap Nabi Ayyub AS ketika diuji Allah swt dengan penyakit kulit.
Meneladani perilaku Nabi Musa AS. Disajikan melalui penggalan cerita, siswa dapat menunjukkan sikap Nabi Musa AS dalam menghadapi Fir’aun.
Menghindari perilaku dengki seperti Abu Lahab dan Abu Jahal. Disajikan beberapa sifat tercela, siswa dapat memilih perilaku dengki yang harus dihindari.
Menghindari perilaku bohong seperti Musailamah Al Kadzab. Disajikan melalui cerita, siswa dapat menunjukkan prilaku bohong Musailamah Al-Kadzab.
5.

Mengenal dan melaksanakan rukun Islam mulai dari bersuci (thaharah) sampai zakat serta mengetahui tata cara pelaksanaan ibadah haji
Menyebutkan syarat sah dan syarat wajib shalat. Disajikan beberapa pilihan, siswa mampu menentukan syarat wajib shalat.
Menyebutkan hal-hal yang membatalkan shalat. Siswa mampu menunjukkan hal-hal yang membatalkan shalat.
Melakukan dzikir setelah shalat .
Disajikan potongan lafal dzikir setelah shalat, siswa mampu melengkapi.
Membaca do’a setelah shalat. Disajikan lafal doa, siswa dapat menentukan doa untuk kedua orang tua.
Melafalkan azan dan iqamah. Disajikan lafal azan “hayya ‘alas shalah”, siswa dapat mengartikan.
Menunjukkan perbedaan azan subuh dengan azan shalat lain.
Menyebutkan ketentuan-ketentuan puasa Ramadhan.
Disajikan beberapa ketentuan puasa, siswa dapat menentukan salah satu rukun puasa.
Disajikan beberapa ketentuan puasa, siswa dapat menunjukkan salah satu yang membatalkan puasa.
Menyebutkan hikmah puasa. Ditampilkan narasi pentingnya puasa, siswa mampu menentukan salah satu hikmah puasa.
Melaksanakan tarawih di bulan Ramadhan. Ditampilkan amalan bulan Ramadhan, siswa dapat menentukan waktu pelaksanaan shalat tarawih.
Menyebutkan macam-macam zakat . Disajikan melalui cerita, siswa dapat menentukan dua macam jenis zakat.
Menyebutkan ketentuan zakat fitrah. Disajikan melalui cerita, siswa dapat menemukan ukuran zakat fitrah.

B. Sekolah Menengah Pertama (SMP)
No. Standar Kompetensi Lulusan Kemampuan Yang Diuji Indikator
1. Menerapkan tatacara membaca Al Quran menurut tajwid, mulai dari cara membaca Al Syamsiyah dan Al Qomariyah sampai kepada menerapkan hukum bacaan mad waqaf
Menerapkan hukum bacaan Al Syamsiyah dan Al Qamariyah pada ayat Al Quran.
Ditampilkan contoh bacaan yang mengandung hukum al, siswa dapat mengklasifikasikan contoh bacaan Al Syamsiyah.
Menerapkan hukum bacaan nun mati/tanwin dan mim mati pada ayat Al Quran. Ditunjukkan ayat Al Quran yang mengandung hukum bacaan nun mati/tanwin, siswa dapat menyeleksi hukum bacaan idgham bighunnah.
Ditampilkan potongan ayat Al-Quran yang mengandung hukum bacaan mim mati, siswa dapat memilih bacaan ikhfa syafawi.
Menerapkan hukum bacaan qalqalah dan ra pada ayat Al Quran. Ditampilkan ayat Al Quran yang mengandung contoh hukum bacaan qalqalah, siswa dapat memilih bacaan yang mengandung hukum bacaan qalqalah kubra.
Ditampilkan contoh hukum bacaan ra, siswa dapat menyeleksi contoh hukum bacaan ra tarqiq.
Menerapkan hukum bacaan mad dan waqaf pada ayat Al Quran. Disajikan ayat Al Quran yang mengandung hukum bacaan mad, siswa dapat menyeleksi hukum bacaan mad wajib muttashil.
Disajikan ayat Al Quran yang mengandung tanda waqaf, siswa dapat menunjukkan tanda waqaf lazim.
Membaca dan menjelaskan makna QS. At-Tin. Ditampilkan ayat dari QS At-Tin secara acak, siswa dapat menyusun ayat dengan benar.
Ditampilkan salah satu ayat QS At-Tiin, siswa dapat menyimpulkan maknanya dengan benar.
Ditampilkan salah satu ayat QS At-Tiin, siswa dapat menyimpulkan maknanya dengan benar. Ditampilkan QS Al Insyirah, siswa dapat menyebutkan arti salah satu ayat QS Al Insyirah.
2.

Meningkatkan pengenalan dan keyakinan terhadap aspek-aspek rukun iman mulai dari iman kepada Allah sampai kepada iman pada Qadha dan Qadar serta Asmaul Husna.


Mengimplementasikan iman kepada Allah dalam kehidupan sehari-hari. Ditampilkan salah satu ayat QS Al Ikhlash, siswa dapat menentukan sifat wajib bagi Allah yang terdapat pada ayat tersebut.
Ditampilkan ilustrasi tentang perilaku yang mencerminkan implementasi iman kepada Allah, siswa dapat memilih sifat wajib bagi Allah yang sesuai dengan ilustrasi tersebut.
Mengimplementasikan Asmaul Husna
dalam kehidupan sehari-hari. Dipaparkan ilustrasi perilaku seseorang yang mencerminkan implementasi Asmaul Husna dalam kehidupan sehari-hari. Siswa dapat memilih asmaul husna yang sesuai dengan ilustrasi.
Mengimplementasikan iman kepada malaikat dalam kehidupan sehari-hari. Dideskripsikan satu fenomena alam, siswa dapat menentukan malaikat yang berkaitan dalam terjadinya fenomena tersebut.
Mengimplementasikan iman kepada kitab-kitab Allah dalam kehidupan sehari-hari. Ditampilkan beberapa pernyataan yang berkaitan dengan beriman kepada kitab-kitab Allah, siswa dapat membuktikan perwujudan cara beriman kepada kitab-kitab Allah.
Ditampilkan beberapa perilaku terhadap Al Qur’an, siswa dapat mengkategorikan perilaku mencintai Al Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
Menerapkan iman kepada rasul-rasul Allah dalam kehidupan sehari-hari. Ditampilkan beberapa nama rasul, siswa dapat mengklasifikasikan nama-nama rasul yang bergelar ulul azmi.
Dipaparkan secara singkat kisah nabi Muhamad SAW, siswa dapat mengkorelasikan kisah tersebut dengan salah satu sifat wajib bagi rasul.
Menceritakan proses kejadian kiamat dan peristiwa setelah hari kiamat. Ditampilkan tanda-tanda kiamat, siswa dapat mengidentifikasi tanda-tanda kiamat kubra.
Ditampilkan peristiwa setelah hari kiamat, siswa dapat mengaitkan peristiwa tersebut dengan ayat Al Qur’an yang sesuai.
Mencontohkan cara beriman kepada qada dan qadar dalam kehidupan sehari-hari. Dipaparkan ilustrasi peristiwa sehari-hari, siswa dapat memilih contoh takdir mubram.
Dipaparkan ilustrasi peristiwa sehari-hari, siswa dapat memilih contoh takdir mu’allaq.
3. Menjelaskan dan membiasakan perilaku terpuji seperti qanaah dan tasamuh dan menjauhkan diri dari perilaku tercela seperti ananiah, hasad, ghadab dan namimah.
Menerapkan perilaku terpuji (Tawadu, taat, qanaah, sabar) dalam kehidupan sehari-hari. Dideskripsikan cerita tentang perilaku terpuji, siswa dapat menunjukkan contoh salah satu perilaku terpuji.
Disajikan gambar tentang musibah, siswa dapat menunjukkan sikap sabar dalam menghadapi musibah.
Menerapkan perilaku terpuji (Kerja keras, tekun dan teliti) dalam kehidupan sehari-hari. Disajikan contoh perilaku terpuji, siswa dapat meng¬kategorikan contoh perbuatan ulet.
Menerapkan perilaku terpuji (zuhud dan tawakal) dalam kehidupan sehari-hari. Dipaparkan ilustrasi perilaku terpuji dalam kehidupan sehari-hari, siswa dapat mengkategorikan perilaku zuhud.
Mengklasifikasikan dan menghindari perilaku tercela (ananiah, ghadab, hasad, ghibah dan namimah) dalam kehidupan sehari-hari. Disajikan ilustrasi tentang perilaku tercela dalam kehidupan sehari-hari, siswa dapat mengklasifi¬ka¬sikan perilaku tercela.
Ditampilkan pernyataan tentang cara menghindari perilaku tercela, siswa dapat menyeleksi cara menghindari perilaku tercela.
Menerapkan adab makan dan minum dalam kehidupan sehari-hari. Disajikan ilustrasi tentang pelaksanaan standing party pada sebuah acara, siswa dapat menilai perilaku berkenaan dengan adab makan dan minum.
Ditampilkan QS al-Baqarah ayat 168 dengan artinya, Siswa dapat menganalisis contoh makanan halal dan thayyib.
Menerapkan perilaku qana'ah dan tasamuh dalam kehidupan sehari-hari. Disajikan ilustrasi keadaan kehidupan seseorang dengan segala keterbatasan, siswa dapat mengkategorikan sikap qona’ah.
Menampilkan contoh perilaku qana'ah dan tasamuh dalam kehidupan sehari-hari.
Disajikan ilustrasi kegiatan siswa yang melibatkan antar pemeluk agama yang berbeda, siswa dapat menyimpulkan perilaku tasamuh.
Menghindari perilaku tercela (takabur) dalam kehidupan sehari-hari.
Disajikan beberapa pernyataan tentang cara menghindari perilaku tercela, siswa dapat menentukan cara menghindari perilaku takabur.
Mengklasifikasi akibat perilaku tercela (Dendam dan munafik) dalam kehidupan sehari-hari. Disajikan ilustrasi tentang contoh perilaku tercela, siswa dapat menemukan akibat buruk dari perilaku dendam.
4.


Menjelaskan tata cara mandi wajib dan shalat-shalat munfarid dan jamaah baik shalat wajib maupun shalat sunat. Membedakan cara mensucikan hadas dan najis. Ditampilkan wacana seseorang yang terkena najis, siswa dapat menjelaskan cara mensucikan najis.
Mengklasifikasi sebab-sebab mandi wajib. Disajikan keadaan yang menyebabkan seseorang mandi wajib, siswa dapat mengelompokkan penyebab mandi wajib.
Menerapkan ketentuan –ketentuan shalat wajib. Ditampilkan pernyataan yang berkaitan dengan aktivitas shalat, siswa dapat mengklasifikasikan sunah-sunah dalam shalat.
Ditampilkan enam rukun shalat fardhu, siswa dapat mengurutkan rukun shalat dengan benar.
Ditampilkan gambar salah satu rukun shalat, siswa dapat menunjukkan bacaan shalat sesuai gambar.
Menerapkan shalat jama’ dan qashar. Ditampilkan keadaan seseorang yang dalam perjalanan, siswa dapat memilih cara mengerjakan shalat fardhu.
Menerapkan ketentuan shalat sunnat rawatib. Ditampilkan tabel tentang nama shalat fardhu dan jumlah rakaat shalat rawatib, siswa dapat menentukan pasangan yang tepat antara shalat wajib dan shalat sunat rawatib.
Ditampilkan hikmah shalat sunnah, siswa dapat menentukan hikmah shalat sunah dalam kehidupan sehari-hari.
Menyebutkan contoh shalat sunnah berjamaah dan munfarid. Ditampilkan daftar nama-nama shalat sunnah, siswa dapat menentukan shalat sunnah yang dikerjakan secara berjamaah.
Ditampilkan keadaan seseorang yang sedang dihadapkan pada suatu pilihan, siswa dapat menentukan shalat sunnah yang harus dikerjakan.
5. Memahami dan meneladani sejarah Nabi Muhammad dan para shahabat serta menceritakan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara.
Menjelaskan misi Nabi Muhammad SAW untuk semua manusia dan bangsa. Ditampilkan wacana/kisah yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW, siswa dapat menunjukkan sifat Rasulullah dalam kaitannya dengan misi beliau untuk semua manusia dan bangsa.
Meneladani perjuangan Nabi dan para Sahabat dalam menghadapi masyarakat Makkah. Melalui wacana tentang suatu upaya penindasan kaum kafir Quraisy, siswa dapat menyimpulkan sifat keteladanan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dalam menghadapi tekanan masyarakat Makkah.
Meneladani perjuangan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat di Madinah. Ditampilkan empat poin isi Piagam Madinah, siswa dapat memilih poin yang mencerminkan sikap toleransi .
Menceritakan sejarah pertumbuhan ilmu pengetahuan Islam sampai masa Abbasiyah beserta peran ilmuwan Islam. Disajikan beberapa hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masa kini, siswa dapat mengemukakan ilmuwan Muslim yang turut berperan dalam mengembangkannya pada masa Abbasiyah.
Menceritakan sejarah beberapa kerajaan Islam di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Ditampilkan peta pulau Sulawesi, siswa dapat menjelaskan kerajaan Islam yang ada di pulau tersebut.
Menceritakan seni budaya lokal sebagai bagian dari tradisi Islam. Disajikan ilustrasi tentang budaya lokal hasil akulturasi budaya Islam, siswa dapat mengkategorikan budaya tersebut sesuai dengan hukum Islam.


C. Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan (SMA/SMK)
No. Standar Kompetensi Lulusan Kemampuan yang Diuji Indikator Soal
1. Memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan fungsi manusia sebagai khalifah, demokrasi serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Membaca QS Al-Baqarah; 30, Al-Mukminun; 12-14, Az-Zariyat; 56 dan An Nahl : 78 yang menjelaskan tentang fungís dan tugas manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Ditampilkan kutipan ayat QS Al-Baqarah: 30, peserta didik dapat melengkapi bacaan QS Al-Baqarah: 30.
Ditampilkan kutipan QS Al Mukminun:13, peserta didik dapat memilih bacaan tajwid yang terdapat dalam QS Al-Mukminun: 13.
Menyebutkan arti QS Al-Baqarah; 30, Al-Mukminun; 12-14, Az-Zariyat; 56 dan An Nahl : 78. yang menjelaskan tentang fungís dan tugas manusia sebagai khalifah dimuka bumi Ditampilkan kutipan ayat QS Al-Mukminun: 14, peserta didik dapat mengartikan penggalan QS Al-Mukminun: 14 yang digaris bawahi.

Menampilkan perilaku sebagai khalifah di bumi seperti terkandung dalam QS Al-Baqarah;30, Al-Mukminun; 12-14, Az-Zariyat; 56 dan An Nahl : 78 Ditampilkan wacana tentang manusia sebagai khalifah, peserta didik dapat menentukan contoh perilaku sebagai khalifah di bumi seperti terkandung dalam QS Al-Baqarah;30.

Membaca QS Ali Imran; 159 dan QS Asy Syura; 38. tentang demokrasi. Ditampilkan kutipan ayat QS Ali-Imran: 159, peserta didik dapat melengkapi kutipan QS Al-Imran: 159.
Menyebutkan arti QS Ali Imran 159 dan QS Asy Syura; 38. tentang demokrasi.
Ditampilkan kutipan QS Asy-syura:38, peserta didik dapat menentukan arti kutipan ayat QS Asy-syura: 38 yang digaris bawahi.
Menampilkan perilaku hidup demokrasi seperti terkandung dalam QS Ali Imran 159, dan QS Asy Syura; 38 dalam kehidupan sehari-hari.
Ditampilkan wacana tentang pola kehidupan demokrasi, peserta didik dapat menunjukkan contoh perilaku demokrasi seperti terkandung dalam QS Asy-syura: 38.
Membaca QS. Yunus : 101 dan QS. al Baqarah : 164 yang menjelaskan tentang pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi .
Ditampilkan kutipan ayat , QS Yunus: 101 peserta didik dapat melengkapi bacaan QS Yunus: 101.
Menjelaskan arti QS Yunus : 101 dan QS. al Baqarah : 164 yang menjelaskan tentang pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Ditampilkan kutipan QS Al-Baqarah: 164, peserta didik dapat menentukan arti bacaan kutipan ayat QS Al-Baqarah: 164 yang digaris bawahi.

Melakukan pengembangan IPTEK seperti terkandung dalam QS Yunus : 101 dan QS. al Baqarah : 164. Ditampilkan wacana tentang pengembangan IPTEK berdasarkan QS Yunus: 101, peserta didik dapat menentukan keterlibatannya dalam mengembangkan IPTEK tersebut.
2. 2. Meningkatkan keimanan kepada Allah sampai Qadha dan Qadar melalui pemahaman terhadap sifat dan Asmaul Husna Menjelaskan makna 10 sifat Allah dalam Asmaul Husna. Peserta didik dapat mengemukakan arti sifat Allah dalam Asmaul Husna.
Menjelaskan hikmah beriman kepada Malaikat Disajikan substansi dialog antara Allah dengan Malaikat sebagaimana terdapat dalam QS Al-Baqarah ayat 177, peserta didik dapat menyimpulkan hikmah beriman kepada Malaikat
Menjelaskan hikmah beriman kepada Kitab-kitab Allah. Peserta didik dapat mengidentifikasi isi pokok Al-Qur’an
Peserta didik dapat menentukan hikmah beriman kepada Kitab-kitab Allah.
Menjelaskan tanda-tanda beriman kepada Rasul-rasul Allah.
Peserta didik dapat mengidentifikasi tanda-tanda beriman kepada Rasul-rasul Allah.
Peserta didik dapat menunjukkan sikap beriman kepada Rasul-rasul Allah.
Menjelaskan hikmah beriman kepada Hari Akhir.
Peserta didik dapat menunjukkan tanda tanda beriman kepada hari Akhir.
Peserta didik dapat menunjukkan contoh perilaku yang mencerminkan iman kepada Hari Akhir.
Peserta didik dapat mengidentifikasi hikmah beriman kepada Hari Akhir.
Menjelaskan hikmah beriman kepada qadha’ dan qadar.
Peserta didik dapat mengemukakan tanda tanda beriman kepada qadha’ dan qadar.
Peserta didik dapat megidentifikasi hikmah beriman kepada Qadha dan Qadar.
Peserta didik dapat menganalisis macam macam Qadha dan Qadar.
3. 3. Berperilaku terpuji seperti husnuzzhan, taubat dan raja dan meninggalkan perilaku tercela seperti isyrof, tabzir dan fitnah. Menganalisis contoh perilaku husnudzon terhadap Allah. Disajikan kisah tentang kehidupan seseorang, peserta didik dapat menganalisis perilaku husnudzon terhadap Allah.
Membandingkan contoh perilaku husnudzon terhadap sesama manusia. Disajikan tentang kehidupan bermasyarakat peserta didik dapat membandingkan contoh perilaku husnudzon terhadap sesama manusia.
Mengurutkan tata cara bertaubat.
Ditampilkan cara-cara taubat, peserta didik dapat mengurutkan tatacara bertaubat.
Membiasakan diri untuk berperilaku taubat. Peserta didik mampu menunjukan kebiasaan berperilaku taubat.
Menyimpulkan perilaku roja. Peserta didik mampu menyimpulkan perilaku raja.
Membedakan antara taubat dan raja.
Peserta didik dapat membedakan antara taubat dan raja.
Mencegah perilaku isyrof.
Disajikan kisah hidup konsumtif peserta didik dapat .mencegah perilaku isyraf dalam kehidupan sehari-hari.
Menunjukan akibat perilaku tabzir
Peserta didik dapat menunjukan akibat perilaku tabzir.
Mengidentifikasi perilaku fitnah. Peserta didik dapat mengidentifikasi perilaku fitnah.

4. 4. Memahami sumber hukum Islam dan hukum taklifi serta menjelaskan hukum muamalah dan hukum keluarga dalam Islam Menyebutkan pengertian, kedudukan dan fungsi Al Qur’an, Al Hadits, dan Ijtihad sebagai sumber hukum Islam.
Disajikan wacana tentang tiga sumber hukum Islam, peserta didik dapat menunjukkan kedudukan Al-Qur’an dalam hukum Islam.
Disajikan wacana tentang masalah ijtihadi di masyarakat, peserta didik dapat menyimpulkan tentang Ijtihad sebagai salah satu Sumber Hukum Islam.
Menjelaskan asas-asas transaksi ekonomi dalam Islam.
Peserta didik dapat mengidentifikasi rukun jual beli.
Peserta didik dapat menunjukkan akibat praktik riba.
Peserta didik dapat membedakan antara syirkah ’inan dengan ’abdan.
Peserta didik dapat mengidentifikasi ciri-ciri transaksi ekonomi Islam.
Menjelaskan ketentuan perkawinan dalam Islam.
Ditampilkan gambar tentang prosesi pernikahan, peserta didik dapat menentukan rukun nikah.
Peserta didik dapat menentukan muhrim dalam nikah.
Peserta didik dapat membedakan antara talaq raj’i dengan talaq ba’in.
Menjelaskan hikmah perkawinan.
Peserta didik dapat menunjukkan hikmah nikah dalam Islam.
Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris. Peserta didik dapat menunjukkan kewajiban yang harus dilakukan sebelum pembagian harta waris.
Peserta didik dapat menunjukkan sebab-sebab seseorang mendapat harta waris.
Menjelaskan contoh pelaksanaan hukum waris.
Disajikan contoh wafatnya seseorang dengan meninggalkan sejumlah harta warisan dan beberapa ahli waris, peserta didik dapat menghitung pembagian harta waris masing-masing.
Menjelaskan hikmah hukum waris dalam Islam. Peserta didik dapat mengidentifikasi hikmah hukum waris.

5. 5. Memahami sejarah Nabi Muhammad pada periode Mekkah dan periode Madinah serta perkembangan Islam di Indonesia dan di dunia. Mendeskripsikan substansi dan strategi dakwah Rasulullah SAW periode Makkah dan Madinah.
Disajikan kisah singkat dakwah Nabi Muhammad di Mekkah dan Madinah, peserta didik dapat menganalisis strategi da’wah Rasulullah SAW pada periode Makkah.
Menjelaskan perkembangan Islam di Indonesia. Disajikan sejarah singkat perkembangan Islam di Indonesia, peserta didik dapat menilai faktor-faktor yang menyebabkan Islam berkembang dengan cepat di Indonesia.
Mengambil hikmah dari perkembangan Islam di Indonesia.

Ditampilkan contoh gambar perkembangan Islam di Indonesia, peserta didik dapat merumuskan hikmah perkembangan Islam di Indonesia.
Menjelaskan perkembangan Islam di dunia. Disajikan narasi tentang penemuan ilmu pengetahuan , peserta didik dapat menganalisis perkembangan Islam di dunia.
Mengambil hikmah dari perkembangan Islam di dunia. Disajikan narasi tentang penghargaan terhadap kemanusian dan lingkungan hidup, peserta didik dapat mengidentifikasi hikmah perkembangan Islam di dunia.
Jakarta, ......Januari 2010.
KETUA BSNP,

TTD

PROF. DJEMARI MARDAPI, Ph.D.

PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU KHALDUM.

PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU KHALDUM.
1. Pengertian, Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Pendidikan adalah suatu proses untuk menghasilkan suatu out put yang mengarah kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan berdisiplin tinggi.
Rumusan pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun adalah merupakan hasil dari berbagai pengalaman yang dilaluinya sebagai seorang ahli filsafat sejarah dan sosiologi yang mencoba menghubungkan antara konsep dan realita. Sebagai seorang ahli filsafat sejarah atau historical philosophy approach, karena kedua pendekatan tersebut akan mempengaruhi terhadap sistem dan pemikirannya dalam pembahasan setiap masalah, karena kedua pendekatan tersebut mampu merumuskan beberapa pendapat dan interpretasi dari suatu kenyataan dan pengalaman yang telah dilalui.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Melalui pendekatan ini, memberikan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal dan praktis. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
a. Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa meneliti, pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakah tidak bisa demikian oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami suatu disiplin tertentu.
b. Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi). Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang tinggi pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia di muka bumi. Pendidikan yang meletakkan ketrampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan mengutamakan peradaban secara keseluruhan.
c. Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan jenis pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik. Melalui pengembangan akal, akan dapat membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan kerjasama sosial dalam kehidupannya, guna mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.
2. Kedudukan Manusia Dalam Alam Semesta
Manusia menurut Ibnu Khaldun adalah bukan merupakan produk nenek moyang, akan tetapi produk sejarah, lingkungan sosial, lingkungan alam, adat istiadat. Karena itu lingkungan sosial merupakan pemegang tanggung jawab dan sekaligus memberikan corak penilaian seorang manusia. Hal ini memberikan arti bahwa pendidik menempati posisi sentral dalam rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan.
Manusia sebagai khalifah fil ardli, dibekali oleh Allah SWT akal pikiran, untuk mengatur, merekayasa, dan mengolah sumber daya alam untuk keperluan seluruh umat manusia, sehingga manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka manusia dikatakan sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk yang lainnya, karena manusia adalah makhluk yang berpikir. Oleh karena itu manusia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Kemampuan berpikirnya itu tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menarik peneliti terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses yang semacam ini melahirkan perbedaan.
Akal pikiran yang menghasilkan ilmu pengetahuan, juga dapat menuntun manusia ke jalan Ilahi dan meningkatkan derajat manusia sehingga manusia diwajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hidupnya jiwa manusia karena ilmu pengetahuan, dan gelapnya hati manusia karena miskinnya ilmu pengetahuan.
Dengan akal pikiran inilah yang kemudian menjadikan manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain karena manusia disamping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat antara satu dengan lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang lain telah lebih dahulu mengetahui.
3. Hakikat dan Tujuan Pendidikan
Rumusan Ibnu Khaldun mengenai tujuan pendidikan adalah untuk:
a. Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktivitas ini sangat penting bagi terbuka pikiran dan kematangan individu kemudian kematangan ini kan mendapat faedah bagi masyarakat.
b. Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya, hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya.
c. Memperoleh lapangan pekerjaan, yang digunakan untuk memperoleh rizki.
Beberapa faktor yang dijadikan alasan untuk merumuskan tujuan pendidikan yaitu:
a. Pengaruh filsafat sosiologi yang tidak bias memisahkan antar masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat.
b. Perencanaan ilmu pengetahuan sangat menentukan bagi perkembangan masyarakat berbudaya.
c. Pendidikan sebagai aktivitas akal insani, merupakan salah satu industri yang berkembang di dalam masyarakat, karena sangat urgent dalam kehidupan setiap individu.
4. Hakikat Pendidik
Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan pendidikan.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
a. Prinsip pembiasaan
b. Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
c. Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d. Prinsip kontinuitas
e. Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f. Menghindari kekerasan dalam mengajar
5. Hakikat Peserta Didik
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Melalui paradigma di atas, menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kecerdasan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
a) Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang digunakan dan sebagainya.
b) Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya.
c) Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi.
d) Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
e) Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohani memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal maka proses pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah.
f) Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
6. Hakikat Kurikulum
Kurikulum adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan dapat dilihat dari konsep epistemologinya. Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat Islam dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu:
a. Ilmu Pengetahuan syar’iyyah yang berkenaan dengan hukum dan ajaran agama Islam. Ilmu pengetahuan syar’iyyah yaitu ilmu-ilmu yang bersandar pada “warta” otoritatif syar’i (Tuhan/Rosul) dan akal manusia tidak mempunyai peluang untuk “mengotak-atiknya”, kecuali dalam lingkup cabang-cabangnya. Itu pun masih harus berada dalam kerangka diktum dasar “warta” otoritatif tersebut. Ilmu ini diantaranya adalah tentang Al-Qur’an, Hadits, prinsip-prinsip syari’ah, fiqh, teologi, dan sufisme.
b. Ilmu pengetahuan filosofis, yaitu ilmu yang bersifat alami yang diperoleh manusia dengan kemampuan akal dan pikirannya. Lingkup persoalan, prinsip-prinsip dasar dan metode pengembangannya sepenuhnya berdasar daya jangkau akal pikir manusia.
Ilmu pengetahuan filosofis meliputi:
(1) Ilmu Mantik (logika), yakni ilmu yang menjaga proses penalaran dari hal-hal yang sudah diketahui agar tidak mengalami kesalahan.
(2) Ilmu Pengetahuan Alam, yakni ilmu tentang realitas empiris-inderawan, baik berupa unsur-unsur atomik, bahan-bahan tambang, benda-benda angkasa maupun gerak alam jiwa manusia yang menimbulkan gerak dan sebagainya.
(3) Ilmu Metafisika yakni hasil pemikiran tentang hal-hal metafisis.
(4) Ilmu Matematika, ilmu ini meliputi empat disiplin keilmuan yang disebut al-Ta’lim yakni: a) Ilmu Ukur (al –Handasah); b) Ilmu Aritmatika; c) Ilmu Musik; d) Astronomi.
Ilmu pengetahuan filosofis juga sering disebut sains alamiah. Hal ini disebabkan karena dengan potensi akalnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk menguasainya dengan baik.
Ilmu pengetahuan syar’iyyah dan filosofis merupakan pengetahuan yang ditekuni manusia (peserta didik) dan saling berinteraksi, baik dalam proses memperoleh atau proses mengajarkannya. Konsepsi ini kemudian merupakan pilar dalam merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal, yaitu kurikulum pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik yang memiliki kemampuan membentuk dan membangun peradaban umat manusia.
7. Metode Pendidikan
Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya. Cirri-ciri perkembangan peserta didik dan suasana alam di sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Metode pendidikan sama halnya dengan metode pembelajaran (pengajaran), yang mana pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan terungkap lewat empat sikap reaktifnya terhadap gaya para pendidik (guru) dimasanya dalam dasar empat dasar persoalan pendidikan.
Pertama,, kebiasaan mendidik dengan metode “indoktrinasi” terhadap anak-anak didik, para pendidik memulai dengan masalah-masalah pokok yang ilmiah untuk diajarkan kepada anak-anak didik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya. Maka Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab.
Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat.
Ketiga, Ibnu Khaldun tidak menyukai metode pendidikan yang terkait dengan strategi berinteraksi dengan anak yang “militeristik” dan keras, anak didik harus seperti ini dan seperti itu, karena berdampak buruk bagi anak didik berupa munculnya kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal.
Ibnu Khaldun mengajarkan agar pendidik bersikap sopan dan halus pada muridnya. Hal ini termasuk juga sikap orang tua terhadap anaknya, karena orang tua adalah pendidik yang utama. Selanjutnya jika keadaan memaksa harus memukul si anak, maka pemukulan tidak boleh lebih dari tiga kali.
8. Hakikat Evaluasi Pendidikan
Evaluasi pendidikan Islam dapat dibagi batasan sebagai suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan dalam proses pendidikan Islam. Dalam ruang lingkup terbatas, evaluasi dilakukan adalah dalam rangka menjelaskan tingkat keberhasilan pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan Islam kepada peserta didik. Sedangkan dalam ruang lingkup luas, evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan Islam (dengan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya) dalam mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam, yaitu:
a. Dari segi pendidik, evaluasi berguna untuk membantu seorang pendidik mengetahui sudah sejauh mana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya.
b. Dari segi peserta didik, evaluasi berguna membantu peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar ke arah yang lebih baik.
c. Dari segi ahli fikir pendidikan Islam, evaluasi berguna untuk membantu para pemikir Islam dan membantu mereka dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah.
d. Dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan Islam (pemerintah), evaluasi berguna untuk membantu mereka dalam membenahi sistem pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang akan diterapkan dalam suatu pendidikan nasional (Islam).
Konsep evaluasi dalam pendidikan Islam bersifat menyeluruh, baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai Pencipta, hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Spectrum kajian evaluasi dalam pendidikan Islam tidak hanya terkonsentrasi pada aspek kognitif, tetapi justru dibutuhkan keseimbangan yang terpadu antara penilaian iman, ilmu, dan amal. Sebab kualitas keimanan, keilmuan, dan amal shalihnya. Kesemuanya itu merupakan bahan pemikiran bagi pengembangan sistem evaluasi dalam pendidikan Islam.


DAFTAR PUSTAKA
Jawad Ridla, Muhammad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1989
Nata, Abuddin, Drs. H. M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakata, 1997
Nizar, Samsul, H, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Prakstis, Ciputat Press, Jakarta, 2002
Siregar, Marasudin, Drs, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun:Suatu Analisa Fenomenologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
Drs. Marasudin Siregar, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun: Suatu Analisa Fenomenologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 35-36.
H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Ciputat Press, Jakarta, 2002, hlm. 93-94.
Ibid., hlm. 93
Drs. H. Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 174-175
Drs. Marasudin Siregar, Op. Cit., hlm. 41-42
H. Samsul Nizar, Op. Cit., hlm. 94-95
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1989, hlm. 37
Samsul Niza, Op. Cit., hlm. 41-50
Muhammad Jawad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 187-190
Samsul Nizar, Op. Cit., hlm. 95-96
Muhammad Jawad Ridla, Op. Cit., hlm. 190-194
Drs. H. Abudin Nata, Op.Cit., hlm. 178

Selasa, 19 Januari 2010

PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU KHALDUM

PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBNU KHALDUM.
1. Pengertian, Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Pendidikan adalah suatu proses untuk menghasilkan suatu out put yang mengarah kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan berdisiplin tinggi.
Rumusan pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun adalah merupakan hasil dari berbagai pengalaman yang dilaluinya sebagai seorang ahli filsafat sejarah dan sosiologi yang mencoba menghubungkan antara konsep dan realita. Sebagai seorang ahli filsafat sejarah atau historical philosophy approach, karena kedua pendekatan tersebut akan mempengaruhi terhadap sistem dan pemikirannya dalam pembahasan setiap masalah, karena kedua pendekatan tersebut mampu merumuskan beberapa pendapat dan interpretasi dari suatu kenyataan dan pengalaman yang telah dilalui.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidikan Islam berpijak pada konsep dan pendekatan filosofis-empiris. Melalui pendekatan ini, memberikan arah terhadap visi tujuan pendidikan Islam secara ideal dan praktis. Menurutnya ada tiga tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:
a. Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Orang awam bisa meneliti, pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al-malakah tidak bisa demikian oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami suatu disiplin tertentu.
b. Penguasaan ketrampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (lingkungan dan materi). Dalam hal ini pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh ketrampilan yang tinggi pada potensi tertentu. Pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia di muka bumi. Pendidikan yang meletakkan ketrampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan mengutamakan peradaban secara keseluruhan.
c. Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berpikir merupakan jenis pembeda antara manusia dengan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya di format dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi-potensi psikologis peserta didik. Melalui pengembangan akal, akan dapat membimbing peserta didik untuk menciptakan hubungan kerjasama sosial dalam kehidupannya, guna mewujudkan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.
2. Kedudukan Manusia Dalam Alam Semesta
Manusia menurut Ibnu Khaldun adalah bukan merupakan produk nenek moyang, akan tetapi produk sejarah, lingkungan sosial, lingkungan alam, adat istiadat. Karena itu lingkungan sosial merupakan pemegang tanggung jawab dan sekaligus memberikan corak penilaian seorang manusia. Hal ini memberikan arti bahwa pendidik menempati posisi sentral dalam rangka membentuk manusia ideal yang diinginkan.
Manusia sebagai khalifah fil ardli, dibekali oleh Allah SWT akal pikiran, untuk mengatur, merekayasa, dan mengolah sumber daya alam untuk keperluan seluruh umat manusia, sehingga manusia memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Maka manusia dikatakan sebagai makhluk yang berbeda dengan makhluk yang lainnya, karena manusia adalah makhluk yang berpikir. Oleh karena itu manusia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan teknologi. Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Kemampuan berpikirnya itu tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menarik peneliti terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses-proses yang semacam ini melahirkan perbedaan.
Akal pikiran yang menghasilkan ilmu pengetahuan, juga dapat menuntun manusia ke jalan Ilahi dan meningkatkan derajat manusia sehingga manusia diwajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Hidupnya jiwa manusia karena ilmu pengetahuan, dan gelapnya hati manusia karena miskinnya ilmu pengetahuan.
Dengan akal pikiran inilah yang kemudian menjadikan manusia memiliki perbedaan dengan makhluk lainnya, khususnya binatang. Perbedaan ini antara lain karena manusia disamping memiliki pemikiran yang dapat menolong dirinya untuk menghasilkan kebutuhan hidupnya, juga memiliki sikap hidup bermasyarakat yang kemudian dapat membentuk suatu masyarakat antara satu dengan lainnya saling menolong. Dari keadaan manusia yang demikian itu maka timbullah ilmu pengetahuan dan masyarakat. Pemikiran tersebut pada suatu saat diperlukan dalam menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh panca indera. Ilmu yang demikian mesti diperoleh dari orang lain telah lebih dahulu mengetahui.
3. Hakikat dan Tujuan Pendidikan
Rumusan Ibnu Khaldun mengenai tujuan pendidikan adalah untuk:
a. Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktivitas ini sangat penting bagi terbuka pikiran dan kematangan individu kemudian kematangan ini kan mendapat faedah bagi masyarakat.
b. Memperoleh berbagai ilmu pengetahuan sebagai alat untuk membantunya, hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan berbudaya.
c. Memperoleh lapangan pekerjaan, yang digunakan untuk memperoleh rizki.
Beberapa faktor yang dijadikan alasan untuk merumuskan tujuan pendidikan yaitu:
a. Pengaruh filsafat sosiologi yang tidak bias memisahkan antar masyarakat, ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat.
b. Perencanaan ilmu pengetahuan sangat menentukan bagi perkembangan masyarakat berbudaya.
c. Pendidikan sebagai aktivitas akal insani, merupakan salah satu industri yang berkembang di dalam masyarakat, karena sangat urgent dalam kehidupan setiap individu.
4. Hakikat Pendidik
Seorang pendidik hendaknya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Para pendidik hendaknya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang diajarkan. Bila ini terjadi, maka akan menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam cakupan pendidikan.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Ibnu Khaldun mengemukakan 6 (enam) prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
a. Prinsip pembiasaan
b. Prinsip tadrij (berangsur-angsur)
c. Prinsip pengenalan umum (generalistik)
d. Prinsip kontinuitas
e. Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
f. Menghindari kekerasan dalam mengajar
5. Hakikat Peserta Didik
Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Melalui paradigma di atas, menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kecerdasan.
Pada dasarnya peserta didik adalah:
a) Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa, akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlakuan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, bahkan dalam aspek metode, mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang digunakan dan sebagainya.
b) Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Aktivitas kependidikan Islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik. Karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh faktor-faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang dimilikinya.
c) Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik menyangkut kebutuhan jasmani maupun kebutuhan rohani yang harus dipenuhi.
d) Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual (diferensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan di mana ia berada.
e) Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur alam, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya fisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohani memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal maka proses pendidikan hendaknya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah.
f) Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.
6. Hakikat Kurikulum
Kurikulum adalah merupakan landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang kurikulum pendidikan dapat dilihat dari konsep epistemologinya. Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat Islam dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu:
a. Ilmu Pengetahuan syar’iyyah yang berkenaan dengan hukum dan ajaran agama Islam. Ilmu pengetahuan syar’iyyah yaitu ilmu-ilmu yang bersandar pada “warta” otoritatif syar’i (Tuhan/Rosul) dan akal manusia tidak mempunyai peluang untuk “mengotak-atiknya”, kecuali dalam lingkup cabang-cabangnya. Itu pun masih harus berada dalam kerangka diktum dasar “warta” otoritatif tersebut. Ilmu ini diantaranya adalah tentang Al-Qur’an, Hadits, prinsip-prinsip syari’ah, fiqh, teologi, dan sufisme.
b. Ilmu pengetahuan filosofis, yaitu ilmu yang bersifat alami yang diperoleh manusia dengan kemampuan akal dan pikirannya. Lingkup persoalan, prinsip-prinsip dasar dan metode pengembangannya sepenuhnya berdasar daya jangkau akal pikir manusia.
Ilmu pengetahuan filosofis meliputi:
(1) Ilmu Mantik (logika), yakni ilmu yang menjaga proses penalaran dari hal-hal yang sudah diketahui agar tidak mengalami kesalahan.
(2) Ilmu Pengetahuan Alam, yakni ilmu tentang realitas empiris-inderawan, baik berupa unsur-unsur atomik, bahan-bahan tambang, benda-benda angkasa maupun gerak alam jiwa manusia yang menimbulkan gerak dan sebagainya.
(3) Ilmu Metafisika yakni hasil pemikiran tentang hal-hal metafisis.
(4) Ilmu Matematika, ilmu ini meliputi empat disiplin keilmuan yang disebut al-Ta’lim yakni: a) Ilmu Ukur (al –Handasah); b) Ilmu Aritmatika; c) Ilmu Musik; d) Astronomi.
Ilmu pengetahuan filosofis juga sering disebut sains alamiah. Hal ini disebabkan karena dengan potensi akalnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk menguasainya dengan baik.
Ilmu pengetahuan syar’iyyah dan filosofis merupakan pengetahuan yang ditekuni manusia (peserta didik) dan saling berinteraksi, baik dalam proses memperoleh atau proses mengajarkannya. Konsepsi ini kemudian merupakan pilar dalam merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal, yaitu kurikulum pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik yang memiliki kemampuan membentuk dan membangun peradaban umat manusia.
7. Metode Pendidikan
Metode pendidikan adalah segala segi kegiatan yang terarah yang dikerjakan oleh guru dalam rangka kemestian-kemestian mata pelajaran yang diajarkannya. Cirri-ciri perkembangan peserta didik dan suasana alam di sekitarnya dan tujuan membimbing peserta didik untuk mencapai proses belajar yang diinginkan dan perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku mereka.
Metode pendidikan sama halnya dengan metode pembelajaran (pengajaran), yang mana pemikiran Ibnu Khaldun tentang metode pendidikan terungkap lewat empat sikap reaktifnya terhadap gaya para pendidik (guru) dimasanya dalam dasar empat dasar persoalan pendidikan.
Pertama,, kebiasaan mendidik dengan metode “indoktrinasi” terhadap anak-anak didik, para pendidik memulai dengan masalah-masalah pokok yang ilmiah untuk diajarkan kepada anak-anak didik tanpa mempertimbangkan kesiapan mereka untuk menerima dan menguasainya. Maka Ibnu Khaldun lebih memilih metode secara gradual sedikit demi sedikit, pertama-tama disampaikan permasalahan pokok tiap bab, lalu dijelaskan secara global dengan mempertimbangkan tingkat kecerdasan dan kesiapan anak didik, hingga selesai materi per-bab.
Kedua, memilah-milah antara ilmu-ilmu yang mempunyai nilai instrinsik, semisal ilmu-ilmu keagamaan, kealaman, dan ketuhanan, dengan ilmu-ilmu yang instrumental, semisal ilmu-ilmu kebahasa-Araban, dan ilmu hitung yang dibutuhkan oleh ilmu keagamaan, serta logika yang dibutuhkan oleh filsafat.
Ketiga, Ibnu Khaldun tidak menyukai metode pendidikan yang terkait dengan strategi berinteraksi dengan anak yang “militeristik” dan keras, anak didik harus seperti ini dan seperti itu, karena berdampak buruk bagi anak didik berupa munculnya kelainan-kelainan psikologis dan perilaku nakal.
Ibnu Khaldun mengajarkan agar pendidik bersikap sopan dan halus pada muridnya. Hal ini termasuk juga sikap orang tua terhadap anaknya, karena orang tua adalah pendidik yang utama. Selanjutnya jika keadaan memaksa harus memukul si anak, maka pemukulan tidak boleh lebih dari tiga kali.
8. Hakikat Evaluasi Pendidikan
Evaluasi pendidikan Islam dapat dibagi batasan sebagai suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan dalam proses pendidikan Islam. Dalam ruang lingkup terbatas, evaluasi dilakukan adalah dalam rangka menjelaskan tingkat keberhasilan pendidik dalam menyampaikan materi pendidikan Islam kepada peserta didik. Sedangkan dalam ruang lingkup luas, evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan Islam (dengan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya) dalam mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Secara umum ada empat kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam, yaitu:
a. Dari segi pendidik, evaluasi berguna untuk membantu seorang pendidik mengetahui sudah sejauh mana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan tugasnya.
b. Dari segi peserta didik, evaluasi berguna membantu peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar ke arah yang lebih baik.
c. Dari segi ahli fikir pendidikan Islam, evaluasi berguna untuk membantu para pemikir Islam dan membantu mereka dalam merumuskan kembali teori-teori pendidikan Islam yang relevan dengan arus dinamika zaman yang senantiasa berubah.
d. Dari segi politik pengambil kebijakan pendidikan Islam (pemerintah), evaluasi berguna untuk membantu mereka dalam membenahi sistem pengawasan dan mempertimbangkan kebijakan yang akan diterapkan dalam suatu pendidikan nasional (Islam).
Konsep evaluasi dalam pendidikan Islam bersifat menyeluruh, baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT sebagai Pencipta, hubungan manusia dengan manusia lainnya, hubungan manusia dengan alam sekitarnya, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Spectrum kajian evaluasi dalam pendidikan Islam tidak hanya terkonsentrasi pada aspek kognitif, tetapi justru dibutuhkan keseimbangan yang terpadu antara penilaian iman, ilmu, dan amal. Sebab kualitas keimanan, keilmuan, dan amal shalihnya. Kesemuanya itu merupakan bahan pemikiran bagi pengembangan sistem evaluasi dalam pendidikan Islam.


DAFTAR PUSTAKA
Jawad Ridla, Muhammad, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1989
Nata, Abuddin, Drs. H. M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakata, 1997
Nizar, Samsul, H, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Prakstis, Ciputat Press, Jakarta, 2002
Siregar, Marasudin, Drs, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun:Suatu Analisa Fenomenologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999
Drs. Marasudin Siregar, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun: Suatu Analisa Fenomenologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 35-36.
H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Ciputat Press, Jakarta, 2002, hlm. 93-94.
Ibid., hlm. 93
Drs. H. Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997, hlm. 174-175
Drs. Marasudin Siregar, Op. Cit., hlm. 41-42
H. Samsul Nizar, Op. Cit., hlm. 94-95
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1989, hlm. 37
Samsul Niza, Op. Cit., hlm. 41-50
Muhammad Jawad Ridla, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 187-190
Samsul Nizar, Op. Cit., hlm. 95-96
Muhammad Jawad Ridla, Op. Cit., hlm. 190-194
Drs. H. Abudin Nata, Op.Cit., hlm. 178

IBNU KHALDUN DAN PEMIKIRANNYA
TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN

A. PENDAHULUAN
Rasanya tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa falsafah tentang segala sesuatu bukan tidak lebih penting dari sesuatu itu sendiri, karena falsafahlah yang akan menentukan kemana tujuan dari sesuatu tersebut diarahkan, karena ia merupakan ide atau pembahasan yang sistematis tentang permasalahan yang sedang dihadapi, sebagaimana pula masalah pendidikan.
Brodi, seorang pakar filsafat pendidikan, sebagaimana dikutip Muhaimin dalam bukunya Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, mengatakan bahwa tugas filsafat pendidikan Islam adalah menyelidiki suatu persoalan metafisika, epistemologi, etika, logika, estetika, maupun kombinasi dari semuanya.
Dalam kaitannya dengan pemikiran Ibnu Khaldun mengenai filsafat pendidikan, dapat dikatakan bahwa pemikiran yang lahir pada pertengahan abad XIV itu telah mengakomodir ide-ide falsafah pendidikan yang masih aktual sampai hari ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun pada bab IV dari Muqaddimahnya, bahwa ilmu pendidikan bukan sebagai suatu aktifitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ia merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Dengan demikian pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah masyarakat manusia, dan ia akan selalu berkembang sesuai perkembangan dan kemajuan peradaban manusia.
Karena disadari atau tidak, sesungguhnya manusia senantiasa berada dan tidak mungkin bisa keluar dari ruangan pendidikan yang disebut “dunia”, karena ketika sekolah dikatakan sebagai lembaga pendidikan formal, maka sesungguhnya “dunia” merupakan sekolah terbesar bagi manusia, karena di dalamnya dan dari padanya manusia dapat memperoleh banyak hal tentang pengetahuan kehidupan. Karena itu Ibnu Khaldun berkeyakinan bahwa manusia yang tidak sempat memperoleh pendidikan dari kedua orang tuanya, maka zamanlah yang akan mendidiknya.
Oleh karena pendidikan sesungguhnya tidak pernah mengenal batas usia, tempat dan waktu, sebab sepanjang kehidupannya pada hakekatnya manusia akan selalu berpikir, berkreasi, beraktifitas, memiliki pengalaman-pengalaman, serta tujuan-tujuan hidup yang akan dicapai dengan cara-cara itu atau metode tertentu, yang menurut Ibnu Khaldun tujuan itu adalah kebahagiaan dunia akhirat.
Berangkat dari uraian tersebut di atas, tulisan ini akan mencoba mendiskripsikan pandangan dan ide-ide Ibnu Khaldun tentang falsafah pendidikan yang secara implisit mengacu kepada tujuan sebagaimana tersebut di atas.

B. IBNU KHALDUN: BIOGRAFI DAN KARYANYA
1. Biografi Ibnu Khaldun
a. Asal Usul dan Pendidikannya
Ibnu Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga, karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Mesir.
Adapun asal-usul Ibnu Khaldun menurut Ibnu Hazm ulama Andalusia yang wafat tahun 457 H/1065 M, disebutkan bahwa: Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut di Yaman, dan kalau ditelusuri silsilahnya sampai kepada sahabat Rasulullah yang terkenal meriwayatkan kurang lebih 70 hadits dari Rasulullah, yaitu Wail bin Hujr. Nenek moyang Ibnu Khaldun adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia (Spanyol) bersama-sama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII M., karena tertarik oleh kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh tentara Islam. Ia menetap di Carmona, suatu kota kecil yang terletak di tengah-tengah antara tiga kota yaitu Cordova, Granada dan Seville, yang di kemudian hari kota ini menjadi pusat kebudayaan Islam di Andalusia.
Pada abad ke VII M, anak cucu Khaldun pindah ke Sevilla yang pada masa pemerintahan Amir Abdullah Ibnu Muhammad dari Bani Umayyah (274-300 H.) Andalusia dalam suasana perpecahan dan perebutan kekuasaan dan yang paling parah adalah Sevilla. Dalam suasana seperti itu anak cucu Khaldun yang bernama Kuraib mengadakan pemberontakan bersama Umayyah Ibnu Abdul Ghofir, dia berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan (sebagai Amir) di Sevilla. Akan tetapi karena kekejaman dan kekerasannya dia tidak disenangi rakyat dan akhirnya meninggal terbunuh pada tahun 899 H.
Banu Khaldun tetap tinggal di Sevilla selama pemerintahan Umayyah dengan tidak mengambil peranan yang berarti sehingga datangnya pemerintahan raja-raja kecil (al-Thowalif) dan Sevilla berada dalam kekuasaan Ibnu Abbad. Pada masa itulah bintang Banu Khaldun meningkat lagi sampai pada masa pemerintahan Al-Muwahidun. Setelah raja-raja Thowaif mengalami kemunduran, maka muncullah raja-raja Muwahhidin menggeser kekuasaan raja-raja Murabbith. Pada pemerintahan Muwahhidun inilah Banu Khaldun menjalin hubungan dengan keluarga pemerintah, sehingga mereka mempunyai kedudukan yang terhormat. Tatkala kerajaan Muwahhidin mengalami kemunduran dan Andalusia menjadi kacau balau, maka Banu Khaldun pindah ke Tunisia pada tahun 1223 M. nenek moyang Ibnu Khaldun yang pertama mendarat ke Tunisia adalah al-Hasan Ibnu Muhammad (kakek keempat Ibnu Khaldun), kemudian disusul oleh saudara-saudaranya yang lain seperti Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar Muhammad dan lain-lain. Kakek Ibnu Khaldun itu rata-rata menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan waktu itu. Sedangkan anaknya Abu Abdillah Muhammad (ayah Ibnu Khaldun) tidak tertarik kepada jabatan pemerintahan, akan tetapi ia lebih mementingkan bidang ilmu dan pendidikan, sehingga ia dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu fiqih, meninggal tahun 749 H/1349 M. Ia meninggalkan beberapa orang anak diantaranya: Abu Yazid Waliuddin (Ibnu Khaldun), Umar, Musa, Yahya dan Muhammad. Pada waktu itu Ibnu Khaldun baru berusia 18 tahun.
Adapun pendidikan yang diperoleh Ibnu Khaldun diantaranya adalah pelajaran agama, bahasa, logika dan filsafat. Sebagai gurunya yang utama adalah ayahnya sendiri, di samping Ibnu Khaldun juga menghafal al-Qur’an, mempelajari fisika dan matematika dari ulama-ulama besar pada masanya. Di antara guru-guru Ibnu Khaldun adalah Muhammad bin Saad Burral al-Anshari, Muhammad bin Abdissalam, Muhammad bin Abdil Muhaimin al-Hadrami dan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim al-Abilli. Dari merekalah Ibnu Khaldun mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Pada tahun 1349 setelah kedua orang tua Ibnu Khaldun meninggal dunia Ibnu Khaldun memutuskan untuk pindah ke Marokko, namun dicegah oleh kakaknya, baru tahun 1354 Ibnu Khaldun melaksanakan niatnya pergi ke Marokko, dan di sanalah Ibnu Khaldun mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan tingginya. Selama menjalani pendidikannya di Marokko, ada empat ilmu yang dipelajarinya secara mendalam yaitu: Kelompok bahasa Arab yang terdiri dari: Nahwu, shorof, balaghoh, khitabah dan sastra. Kelompok ilmu syari’at terdiri dari: Fiqh (Maliki), tafsir, hadits, ushul fiqh dan ilmu al-Qur’an. Kelompok ilmu ‘aqliyah (ilmu-ilmu filsafat) terdiri dari: filsafat, mantiq, fisika, matematika, falak, musik, dan sejarah. Kelompok ilmu kenegaraan terdiri atas: ilmu administrasi, organisasi, ekonomi dan politik. Dalam sepanjang hidupnya Ibnu Khaldun tidak pernah berhenti belajar, sebagaimana dikatakan oleh Von Wesendonk: bahwa sepanjang hidupnya, dari awal hingga wafatnya Ibnu Khaldun telah dengan sungguh-sungguh mencurahkan perhatiannya untuk mencari ilmu. Sehingga merupakan hal yang wajar apabila dengan kecermelangan otaknya dan didukung oleh kemauannya yang membaja untuk menjadi seorang yang alim dan arif, hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad Ibnu Khaldun telah mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan.
b. Perjalanan dan Pengalaman Hidup Ibnu Khaldun setelah Usia Dewasa
Memasuki tahun ke-20 dari usianya, Ibnu Khaldun mulai tertarik dengan kehidupan politik, sehingga pada tahu 755 H./1354 Ml., karena kecakapannya Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris Sultan di Maroko, namun jabatan ini tidak lama di pangkunya, karena pada tahun 1357 Ibnu Khaldun terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan Amir bersama Amir Abu Abdullah Muhammad, sehingga ia ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi tidak lama kemudian dia dibebaskan, yang kemudian pada tahun itu juga setelah Sultan meninggal dunia dan kekuasaan direbut oleh Al-Mansur bin Sulaiman dari menterinya Al-Hasan, maka Ibnu Khaldun menggabungkan diri dengan Al-Mansur dan dia diangkat menjadi sekretarisnya. Namun tidak lama kemudian Ibnu Khaldun meninggalkan Al-Mansur dan bekerjasama dengan Abu Salim. Pada waktu itu Abu Salim menduduki singgasana dan Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretarisnya dan dua tahun kemudian diangkat menjadi Mahkamah Agung. Di sinilah Ibnu Khaldun menunjukkan prestasinya yang luar biasa, tetapi itupun tidak berlangsung lama, karena pada tahun 762 H./1361 M., timbul pemberontakan di kalangan keluarga istana, maka pada waktu itu Ibnu Khaldun meninggalkan jabatan yang disandangnya.
Rupanya tidak tahan lama Ibnu Khaldun bergelut dengan dunia politik dia ingin kembali ke dalam dunia ilmu pengetahuan yang pernah lama digelutinya. Akhirnya dia memutar haluan bertolak ke daerah Banu Arif bersama keluarganya, dan di tempat inilah Ibnu Khaldun dan keluarganya baru merasa hidup tenang dan tentram jauh dari kemunafikan politik. Dalam ketenangannya itu Ibnu Khaldun merenung ingin menumpahkan semua pengalaman dan liku-liku kehidupannya. Maka dari sinilah ia mengalihkan perjalanan hidupnya dari petualang politik kembali kepada dunia ilmu pengetahuan, dan mulailah ia menyusun karya besarnya yang kemudian dikenal dengan “Muqoddimah Ibnu Khaldun”. Selama empat tahun tinggal di daerah Banu Arif Ibnu Khaldun juga menyusun sejarah besarnya Al-‘Ibar, akan tetapi karena kekurangan referensi maka ia pergi ke Tunisia, dan disanalah ia menyelesaikan karyanya. Rupanya ketenangan Ibnu Khaldun terganggu lagi ketika Sultan mengajaknya untuk mendampingi menumpas pengacau, namun karena Ibnu Khaldun sudah jenuh dengan kehidupan politik, maka kemudian ia pindah ke Mesir. Di Mesir Ibnu Khaldun disambut dengan hangat. Ilmuwan yang sarjana ini sudah tidak asing lagi di sana karena karya-karyanya sudah tersebar di sana. Sebagai orang baru Ibnu Khaldun langsung diberi dua jabatan penting yaitu sebagai hakim tinggi dan sebagai guru besar di perguruan Al-Azhar. Setelah sekian lama berhidmat untuk ilmu dan mengabdi kepada Afrika Utara dan Andalusia ilmuwan besar dan terkemuka itu meninggal dunia pada hari Rabu tanggal 25 Ramadhan 808 H. bertepatan dengan tanggal 17 Maret 1406 M. dalam usianya yang ke-76, dan dimakamkan di pekuburan orang-orang sufi Babul Nashr di Kairo.
c. Kepribadian dan Corak Pemikiran Ibnu Khaldun
Sebagai seoang pemikir Ibnu Khaldun memiliki watak yang luar biasa yang kadang terasa kurang baik. Dalam hal ini Muhammad Abdullah Enan melukiskan kepribadian Ibnu Khaldun yang istimewa itu dengan mencoba memperlihatkan ciri psikologik Ibnu Khaldun, walaupun diakuinya secara moral ini tidak selalu sesuai. Menurutnya ia melihat dalam diri Ibnu Khaldun terdapat sifat angkuh dan egoisme, penuh ambisi, tidak menentu dan kurang memiliki rasa terima kasih. Namun di samping sifat-sifatnya yang tersebut di atas dia juga mempunyai sifat pemberani, tabah dan kuat, teguh pendirian serta tahan uji. Disamping memiliki intelegensi yang tinggi, cerdas, berpandangan jauh dan pandai berpuisi. Menurut beberapa ahli, Ibnu Khaldun dalam proses pemikirannya mengalami percampuran yang unik, yaitu antara dua tokoh yang saling bertolak belakang, Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd. Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd bertentangan dalam bidang filsafat. Ibnu Rusyd adalah pengikut Aristoteles yang setia, sedangkan Al-Ghozali adalah penentang filsafat Aristoteles yang gigih. Ibnu Khaldun adalah pengikut Al-Ghozali dalam permusuhannya melawan logika Aristoteles, dan pengikut Ibnu Rusyd dalam usahanya mempengaruhi massa. Ibnu Khaldun adalah satu-satunya sarjana muslim waktu itu yang menyadari arti pentingnya praduga dan katagori dalam pemikiran untuk menyelesaikan perdebatan-perdebatan intelektual. Barangkali karena itulah seperti anggapan Fuad Baali bahwa Ibnu Khaldun membangun suatu bentuk logika baru yang realistik, sebagai upayanya untuk mengganti logika idealistik Aristoteles yang berpola paternalistik-absolutistik-spiritualistik. Sedangkan logika realistik Ibnu Khaldun ini berpola pikir relatifistik-temporalistik-materialistik.
Dengan berpola pikir seperti itulah Ibnu Khaldun mengamati dan menganalisa gejala-gejala sosial beserta sejarahnya, yang pada akhirnya tercipta suatu teori kemasyarakatan yang modern.
2. Karya-karya Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun terkenal sebagai ilmuwan besar adalah karena karyanya “Muqaddimah”. Rasanya memang aneh ia terkenal justru karena muqaddimahnya bukan karena karyanya yang pokok (al-‘Ibar), namun pengantar al-‘Ibarnyalah yang telah membuat namanya diagung-agungkan dalam sejarah intelektualisme. Karya monumentalnya itu telah membuat para sarjana baik di Barat maupun di Timur begitu mengaguminya. Sampai-sampai Windellband dalam filsafat sejarahnya menyebutnya sebagai “Tokoh ajaib yang sama sekali lepas, baik dari masa lampau maupun masa yang akan datang”.
Sebenarnya Ibnu Khaldun sudah memulai kariernya dalam bidang tulis menulis semenjak masa mudanya, tatkala ia masih menuntut ilmu pengetahuan, dan kemudian dilanjutkan ketika ia aktif dalam dunia politik dan pemerintahan. Adapun hasil karya-karyanya yang terkenal di antaranya adalah:
1. Kitab Muqaddimah, yang merupakan buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari bagian muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari seluruh persoalan, dan buku tersebut pulalah yang mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah gejala-gejala sosial dan sejarahnya.
2. Kitab al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab Muqaddimah, atau jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi (Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka (orang-orang Eropa). Kemudian Buku Ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika Utara).
3. Kitab al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Syarqon wa Ghorban atau disebut al-Ta’rif, dan oleh orang-orang Barat disebut dengan Autobiografi , merupakan bagian terakhir dari kitab al-‘Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai kehidupan Ibnu Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling berhubungan antara satu dengan yang lain.

C. PEMIKIRAN IBNU KHALDUN TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN
1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
Pada bab ini akan dibahas pandangan-pandangan Ibnu Khaldun mengenai pendidikan. Menurut Ibnu Khaldun dalam awal pembahasannya pada bab empat dari Muqaddimahnya, dia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semat-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani.
Di dalam kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa:
Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya.

Dari pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.
Menurut Ibnu Khaldun bahwa secara esensial manusia itu bodoh, dan menjadi berilmu melalui pencarian ilmu pengetahuan. Alasan yang dikemukakan bahwa manusia adalah bagian dari jenis binatang, dan Allah SWT telah membedakannya dengan binatang dengan diberi akal pikiran. Kemampuan manusia untuk berfikir baru dapat dicapai setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan, yaitu dengan melalui proses; kemampuan membedakan. Sebelum pada tahap ini manusia sama sekali persis seperti binatang, manusia hanya berupa setetes sperma, segumpal darah, sekerat daging dan masih ditentukan rupa mentalnya. Kemudian Allah memberikan anugerah berupa pendengaran, penglihatan dan akal. Pada waktu itu manusia adalah materi sepenuhnya karena itu dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Dia mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan yang dicari melalui organ tubuhnya sendiri. Setelah manusia mencapai eksistensinya, dia siap menerima apa yang dibawa para Nabi dan mengamalkannya demi akhiratnya. Maka dia selalu berfikir tentang semuanya. Dari pikiran ini tercipta berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian-keahlian. Kemudian manusia ingin mencapai apa yang menjadi tuntutan wataknya; yaitu ingin mengetahui segala sesuatu, lalu dia mencari orang yang lebih dulu memiliki ilmu atau kelebihan. Setelah itu pikiran dan pandangannya dicurahkan pada hakekat kebenaran satu demi satu serta memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya yang berguna bagi esensinya. Akhirnya dia menjadi terlatih sehingga pengajaran terhadap gejala hakekat menjadi suatu kebiasaan (malakah) baginya. Ketika itu ilmunya menjadi suatu ilmu spesial, dan jiwa generasi yang sedang tumbuh pun tertarik untuk memperoleh ilmu tersebut. Merekapun meminta bantuan para ahli ilmu pengetahuan, dan dari sinilah timbul pengajaran. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia.
Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun, bahwa di dalam Muqaddimahnya ia tidak merumuskan tujuan pendidikan secara jelas, akan tetapi dari uraian yang tersirat, dapat diketahui tujuan yang seharusnya dicapai di dalam pendidikan. Dalam hal ini al-Toumy mencoba menganalisa isi Muqaddimahnya dan ditemukan beberapa tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Dijelaskan menurutnya ada enam tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan, antara lain:
1. Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al-Qur’an dan Hadits Nabi sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat, sebagaimana dengan potensi-potensi lain yang jika kita mendarah daging, maka ia seakan-akan menjadi fithrah.
2. Menyiapkan seseorang dari segi akhlak. Hal ini sesuai pula dengan apa yang dikatakan Muhammad AR., bahwa hakekat pendidikan menurut Islam sesungguhnya adalah menumbuhkan dan membentuk kepribadian manusia yang sempurna melalui budi luhur dan akhlak mulia.
3. Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
4. Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan. Ditegaskannya tentang pentingnya pekerjaan sepanjang umur manusia, sedang pengajaran atau pendidikan menurutnya termasuk di antara ketrampilan-ketrampilan itu.
5. Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu.
6. Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, di sini termasuk musik, syair, khat, seni bina dan lain-lain.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian. Dia telah memberikan porsi yang sama antara apa yang akan dicapai dalam urusan ukhrowi dan duniawi, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki. Maka atas dasar itulah Ibnu Khaldun beranggapan bahwa target pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena dia memandang aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu. Karena kematangan berfikir adalah alat kemajuan ilmu industri dan sistem sosial.
Dari rumusan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun menganut prinsip keseimbangan. Dia ingin anak didik mencapai kebahagiaan duniawi dan sekaligus ukhrowinya kelak. Berangkat dari pengamatan terhadap rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun, secara jelas kita dapat melihat bahwa ciri khas pendidikan Islam yaitu sifat moral religius nampak jelas dalam tujuan pendidikannya, dengan tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. Sehingga secara umum dapat kita katakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun tentang pendidikan telah sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yakni aspirasi yang bernafaskan agama dan moral.
2. Pandangan Ibnu Khaldun mengenai Kurikulum dan Materi Pendidikan
Sebelum membahas pandangan Ibnu Khaldun tentang kurikulum perlu kiranya diberikan pengertian kurikulum pada zamannya, karena kurikulum pada zamannya tentu saja berbeda dengan kurikulum masa kini yang telah memiliki pengertian yang lebih luas. Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan.
Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan. Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib, bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada mempelajari al-Qur’an dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dalam pengajarannya, karena al-Qur’an merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur’an saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain. Demikian pula dengan orang-orang Ifrikiya, mereka mengkombinasikan pengajaran al-Qur’an dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu.
Adapun metode yang dipakai orang Timur seperti pengakuan Ibnu Khaldun, sejauh yang ia ketahui bahwa orang-orang Timur memiliki jenis kurikulum campuran antara pengajaran al-Qur’an dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menganjurkan agar pada anak-anak seyogyanya terlebih dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan, sehingga menurutnya mengajarkan al-Qur’an mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap al-Qur’an itu sendiri, karena anak akan membaca apa yang tidak dimengertinya dan hal ini menurutnya tidak ada gunanya.
Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
1. Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits.
Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
2. Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu: a. Ilmu logika, b. Ilmu fisika, c. Ilmu metafisika dan d. Ilmu matematika. Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya.
Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1. Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2. Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika)
3. Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
4. Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama.
Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu ‘Aqliyah (filsafat). Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia sejajar dengan ilmu agama. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu pengetahuan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar banyak tergantung pada para pendidik, bagaimana dan sejauh mana mereka pandai mempergunakan berbagai metode yang tepat dan baik.
3. Pandangan Ibnu Khaldun tentang Metode Pendidikan
Pandangan Ibnu Khaldun tentang metode pengajaran merupakan bagian dari pembahasan pada buku Muqaddimahnya. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah pendidikan Islam dapat kita simak bahwa dalam berbagai kondisi dan situasi yang berbeda, telah diterapkan metode pengajaran. Dan metode yang dipergunakan bukan hanya metode mengajar bagi pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus digunakan oleh anak didik. Hal ini sebagaimana telah dibahas Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimahnya.
Di dalam buku Muqaddimahnya dia telah mencanangkan langkah-langkah pendidikan sebagai berikut:
Pertama: Didalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik.
Kedua: Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari pengetahuan tadi baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci.
Ketiga: Pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna. Demikian itu metode umum yang ditawarkan Ibnu Khaldun di dalam proses belajar mengajar.
Disamping itu Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar. Disamping metode yang sudah disebut di atas Ibnu Khaldun juga menganjurkan metode peragaan, karena dengan metode ini proses pengajaran akan lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik. Satu hal yang menunjukkan kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya bahwa belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan berdiskusi akan menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham terhadap apa yang dipelajarinya. Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan. Dan apabila kita cermati satu demi satu pandangannya tentang kurikulum materi dan metode pendidikan, maka dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa ilmuan yang diakui Barat dan Timur ini memang memiliki pandangan yang jauh ke depan dalam berbagai masalah pengetahuan, berfikir universal dan sintetik, sehingga filsafatnya tentang pendidikan tidak pernah dirasanya usang bahkan banyak diteladani baik kawan maupun lawan.

D. KESIMPULAN
Mengakhiri tulisan tentang Filsafat Pendidikan dalam pandangan Ibnu Khaldun ini ada beberapa hal yang menurut hemat penulis perlu mendapatkan perhatian.
Yakni bahwa sebagai ilmuan yang juga sejarawan Ibnu Khaldun telah banyak turut mewarnai pemikiran-pemikiran tentang pendidikan. Dia telah mencanangkan dasar-dasar dan sistem pendidikan yang patut diteladani baik di masa lalu maupun masa sekarang. Dari segi metode, materi, maupun kurikulum yang ditawarkan secara keseluruhan pantas untuk dikaji dan dicermati.
Walaupun di dalam menuangkan tentang pandangannya terhadap filsafat pendidikan Ibnu Khaldun hanya mengemukakan secara garis besar, namun harus diakui bahwa sumbangannya terhadap proses pendidikan cukuplah besar. Dia telah menyajikan pandangan-pandangannya dalam bentuk orientasi umum, sehingga dia mengatakan bahwa aktifitas pendidikan bukan semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, akan tetapi ia merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani, dan karenanya ia harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang bernama manusia. Karena orientasi pendidikan menurutnya adalah bagaimana bisa hidup bermasyarakat.
Sementara itu Ibnu Khaldun melihat bahwa penguasaan terhadap bahasa merupakan prasyarat bagi keberhasilan suatu pendidikan.
Adapun metode yang ditawarkan Ibnu Khaldun adalah bersifat intelektualitas, dengan prinsip memberikan kemudahan-kemudahan bagi anak didik, demi terciptanya tujuan pendidikan. Karena menurutnya hakekat manusia itu adalah jiwanya, sehingga jiwanyalah yang akan menentukan hakekat perbuatan-perbuatannya, termasuk perbuatan pendidikan.




DAFTAR PUSTAKA

Akhmad, K.H. Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1984.
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, Jakarta: Grafiti Press, 1985.
Ali, A. Mukti, Ibnu Khaldun dan Asal-Usul Sosiologinya, Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970.
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Audah, Ali, Ibnu Khaldun Sebuah Pengantar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, alih bahasa Osman Ralibi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset, 1987.
Enan, Muhammad Abdullah, Ibnu Khaldun: His Life and Work, New Delhi: Kitab Bhavan, 1979.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset I, Yogyakarta: Andi Offset, 1982.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (terj.) Ahmadi Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Muhammad, AR., Pendidikan di Alaf Baru, Yogyakarta: Prisma Sophie, 2003.
Raliby, Osman, Ibnu Khaldun, Tentang Masyarakat dan Negara, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Sulaiman, Fathiyah Hasan, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan, Bandung: Diponegoro, 1987.
_______, Sistem Pendidikan versi Al-Ghazali, Bandung: Diponegoro, 1987.
Thoha, Nashruddin, Tokoh-tokoh Pendidikan Islam di Jaman Jaya, Jakarta: Mutiara, 1979.
Wafi, Ali Abdul Wahid, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Grafiti Press, 1985.
SUMBER :http://uinsuka.info/ejurnal/index.php?option=com_content&task=view&id=100&Itemid=52

Rabu, 18 November 2009

PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK

ABSTRAK

Beberapa tahun yang lalu tepatnya tanggal 12-15 Met 1997 kita mengalami kejadian yang dahsyat sepanjang pemerintahan orde baru, jatuhya rejim penguasa orba ternyata banyak sekali memakan korban bangsa ini, hal itu sangat naif jika di tinjau dari sudut pandang pendidikan. Berdasar pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah: Bagaimana pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan akhlak?. Dalam penelitan ini tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui bagaimana konsep Pendidikan Akhlak Menurut Imam al-Ghazali.
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan metode deskriptif analitik. Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa Akhlak menurut Al-Ghazali adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Akhlak bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma'rifah. Akhlak adalah "haal" atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah

Latar belakang masalah
Seiring dengan berlalunya masa kenabian, syariat Islam semakin tenggelam, dan manusia disibukkan dengan kesibukan dunia. Akibatnya lenyaplah peranan akhlak yang telah membentuk generasi pertama yang mulia dari umat ini.
Para Shalaf al-Shalih memotivasi manusia untuk berpegang teguh kepada al-Kitab dan al-Sunnah serta menjauhi bid'ah. Bahkan mereka mengkhawatirkan apa yang diperolehnya, baik itu berupa pakaian, kendaraan, pernikahan bahkan jabatannya. Mereka takut bila kenikmatan dunia termasuk kenikmatan akhirat yang dipercepat hanya dirasakan di dunia saja. Sebagaimana shahabat Umar bin Al-khatab ra berkata:
"Kalaulah aku tidak takut kebaikanku berkurang, aku akan mengikuti pola kehidupan kalian yang enak, namun aku telah mendengar Allah SWT menjelaskan tentang suatu kaum:
'kamu telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan duniamu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengan nya' (QSAl-Ahqaf:20) Yang membedakan Ahli Allah dengan selainnya adalah mereka selalu mengharapkan akhirat dan mempersiapkan diri atas segala peristiwa yang terjadi disana" (Farid,2003:43).
Begitulah kehidupan dan akhlak mereka para salafu ashalih, lain dengan kehidupan kita sekarang ini, apalagi dalam konteks yang lebih makro. Beberapa tahun yang lalu tepatnya tanggal 12-15 Met 1997 kita mengalami kejadian yang dahsyat sepanjang pemerintahan orde baru, jatuhya rejim penguasa orba ternyata banyak sekali memakan korban bangsa ini, hal itu sangat naif jika di tinjau dari sudut pandang pendidikan, dalam demontrasi-demontrasi itu segalanya ternyata terjadi; pemerkosaan, penjarahan, perusakan fasilitas umum bahkan pembunuhan, itu yang kelihatan jelas, (terlepas dari apakah mereka yang melakukan itu kaum terpelajar atau tidak, yang jelas demontrasi itu atas nama kaum terpelajar) bukan lagi masalah yang memang telah mewabah dari dulu yaitu kegiatan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di mana-mana hampir di semua instansi baik pemerintah maupun sipil. Kalau tidak KKN itu dikatakan kuno, ketinggalan, "orang jujur akan hancur".
Jika dilihat dari kaca mata pendidikan, hal yang demikian itu mungkin terjadi, karena memang selama ini pendidikan kita lebih berkonsentrasi kepada pembangunan ekonomi pragmatis dengan orientasi keuntungan jangka pendek yang lebih kasat mata, imbasnya pada pendidikan ialah terbengkalainya pendidikan nasional kita, pantaslah apa yang dikatakan Ahmad Tafsir bahwa "pendidikan kita dianggap gagal karena tidak mampu menghasilkan manusia berkualitas, beriman, dan berakhlak tinggi yang benar dari sifat kesewenang-wenangan yang muncul dalam prilaku KKN " (Mimbar Pendidikan, 1998:24).
H.M.Idris Suryana KW (1998:12) berpendapat:
"Selama ini pendidikan kita lebih banyak menggunakan literatur barat yang steril dan terlepas dari nilai-nilai, penanaman keimanan dan keislaman. Oleh karena itu sumber-sumber informasi perlu diseimbangkan dengan banyak menulis literatur ilmu pengetahuan berdasarkan nilai-nilai Islam, tapi hal itu bukan berarti mendikotomikan antara umum dan ilmu-ilmu agama".
Pendidikan yang hanya terbatas pada belantara kulit-kulit teori hanya akan melahirkan pendidikan yang bersifat "dogmatis" tidak "kreatif". Sebaliknya pendidikan yang berwawasan nilai, secara metodologis tidak hanya merupakan transformasi dan proses intruksional melainkan sampai pada proses intemalisasi dan trans-internalisasi nilai. Pendidikan berwawasan nilai akan meletakan kebenaran ilmiah adalah pada kebenaran yang bersifat hipotetika-verifikatif yang selalu mendorong para ilmuwan untuk meneruskan kebenaran yang telah diajukan oleh para ilmuwan lain.
Sedangkan kaitannya dengan nilai Ilahiyah dalam pendidikan yang berwawasan nilai tidak berhenti sampai pada apa yang di sebutkan di atas, namun sampai pada tataran "hakikat" dan "ma 'rifat dan nilai seperti itulah yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam (Ismail dan Mukti, 2000:26-27). Lebih lanjut Hj. Melly Sri Sulastri menjelaskan bahwa:
Pendidikan perlu diartikan sebagai upaya sadar mengembangkan seluruh potensi keperibadian individu manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, guna mencapai kehidupan pribadi sebagai Nafsun Thaibun warabbun ghaffur, kehidupan keluarga yang Ahlun thaiyibun warabbun Ghafur, kehidupan masyarakat sebagai Qoryatun Thaibatun wararabbun ghafur serta kehidupan bernegara sebagai Baldatun thaibatun warabbun ghafurr. Gambaran ini akan terjadi jika acuan pendidikan adalah pendidikan al-akhlak al-karimah dengan pembinaan amar ma 'ruf nahi munkar (Mimbar Pendidikan, 2001:5 8).
Dari penjelasan di atas itulah maka pendidikan Islam menjadi suatu tuntutan dan kebutuhan mutlak umat manusia dan bertujuan sebagai berikut:
a. Untuk menyelamatkan anak-anak, dari ancaman dan hilang sebagai korban hawa nafsu para orang tua terhadap kebendaan, sistem materialiatis non humanistis, pemberian kebebasan yang berlebihan dan pemanjaan.
b. Untuk menyelamatkan anak-anak, di lingkungan bangsa-bangsa sedang berkembang dan lemah dari ketundukan, kepatuhan dan penyerahan diri kepada kedhaliman dan penjajahan.
Semua itu akan tercapai dengan pendidikan Islam yang menanamkan kemuliaan dan perasaan terhonnat ke dalam jiwa manusia, bahkan kesungguhan untuk mencapainya (An-Nahlawi, 1991:40). Dalam hal ini akan ditemukan pemahaman yang lebih mendalam dari pendapatnya, menurutnya tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kehebatan, kemegahan, kegagahan atau mendapatkan kedudukan dan menghasilkan uang. Karena kalau pendidikan tidak diarahkan kepada mendekatkan diri kepada Allah, akan menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan (an-Nawawi.t.t.: 3). Lebih lanjut mengatakan bahwa orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga orang itu derajatnya lebih tinggi di sisi Allah dan lebih luas kebahagiaanya di akhirat. Ini menunjukan bahwa tujun pendidikan menurut tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan menjadikan dunia itu sebagai alat (Nata.1997:163).
Menurut H.M. Arifin, guru besar dalam bidang pendidikan, bila dipandang dari segi filosofis, adalah penganut faham Idealisme yang konsekwen terhadap agama sebagai dasar pandangannya. (Arifin. 1997: 87). Sedangkan dalam masalah pendidikan lebih cenderung kepada faham Empirisme. Hal ini antara lain karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik.
Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua dan pendidikannya. Hati seorang anak itu bersih, mumi, laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun, dalam kata lain adalah fitrah (Nala.1997 :161). Jika anak menerima ajaran yang baik dan kebiasan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu dibiasakan melakukan perbuatan buruk dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek.
Dalam hal ini dapat dilihat peran teori fitrah dalam pembentukan manusia yang paripuma, sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yaitu untuk mendidik warga negara Mu'min dan masyarakat muslim agar dapat merealisasikan ubudiah kepada Allah semata (An-Nahlawi,1991: 179). Dan dengan terealisasikannya atau termanifestasikan nilai penghambaan seseorang dalam kehidupannya, maka ia akan menjadi individu yang baik dan bet-akhlakul karimah.
Dan ini tidak bisa lepas dari pada fungsi agama, terutama Islam» di mana agama sebagai directive system dan defensive system dalam kehidupan yang juga sebagai supreme morality yang memberikan landasan dan kekuatan etik spiritual masyarakat, ketika mereka berdialektika dalam proses perubahan. (Rahmat, 1994:40). Maka pendidikan agama memegang peranan yang amat penting dan strategis dalam rangka mengaktualisasikan ajaran-ajaran, nilai-nilai luhur dan mensosialisasikan serta mentransformasikan nilai-nilai itu dalam dunia pendidikan, yang selanjutnya akan dimanifestasikan oleh peserta didik pada kontek dialektika kehidupan, untuk membentuk insan kamil.
Dari problematika di atas, penulis ingin mengangkat seorang figur klasik yaitu al-Ghazali. Dikenal sebagai seorang teolog, filosof, dan sufi dari aliran Sunni, terutama dalam permasalahan akhlak, baik kaitannya dengan pendidikan maupun mu'amalah dalam masyarakat secara filosofis teoritik dan aplikatif.
Sebelum diselami secara mendalam pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan akhlak penting untuk mengetahui teriebih dahulu beberapa pemikirannya. Hal ini untuk memudahkan menganalisis pemikiran tentang pendidikan akhlak.
Pertama tentang tujuan manusia. Al-Ghazali menerangkan bahwa tujuan manusia sebagai individu adalah mencapai kebahagiaan dan kebahagiaan yang paling utama harus diketemukan di kehidupan yang akan datang, sarana utama kepada tujuan itu ada dua macam amal baik lahiriah berupa ketaatan kepada aturan-aturan tingkah laku yang diwahyukan dalam kitab suci dan upaya bathiniah untuk mencapai keutamaan jiwa. Amal baik lahiriyah bermanfaat karena ketaatan di samping dibalas langsung untuk kebaikan itu sendiri, juga mendukung akan perolehan keutamaan, namun kondisi bathin lebih penting dalam pandangan Tuhan daripada amal baik lahiriyah dan lebih mendatangkan pahala keutamaan. Di samping itu berpendapat bahwa kejahatan dan kebaikan hanya dapat diketahui melalui wahyu (dan tidak melalui rasio alamiah)
Dalam masalah "keutamaan", al-Ghazali menyamakan dengan ketaatan kepada Tuhan, dan karenanya pengkajian tentang keutamaan Islami secara mendasar merupakan deskripsi tentang cara yang tepat untuk melaksanakan perintah-perintah Tuhan, al-Ghazali selanjutnya membagi perintah-perintah ini kepada dua bagian, yaitu yang berkaitan dengan Tuhan (hablum min Allah). Dan hubungan manusia kepada sesamanya (hablum min an-Nas). Kelompok pertama disebut perbuatan-perbuatan penyembahan (ibadat), seperti shalat, bersuci, zakat, puasa dan haji. Pembagian ini dapat dilihat dalam Ihya ulum ad-Din jilid pertama. Adapun kelompok kedua adalah adat (adah) semacam makanan, perkawinan, transaksi yang diperbolehkan dan dilarang dan adab musyafir (bepergian). Ini dapat dilihat dalah Ihya ulum ad-Din jilid kedua. Sedangkan puncak daripada keutamaan dan kebahagian tertinggi adalah melihat Tuhan atau berdekatan dengan-Nya, interprestasi ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar terpelajar (ulama) bukan ahli hukum, teolog maupun filosof, melainkan hanya ahli tasawuf (mistik).
Al-Ghazali membahas keutamaan mi dalam rub 'u IV dari Ihya ulum ad-Din, yang dapat dilihat dalam Ihya ulum ad-Din jilid ketiga dan empat juga dapat pula dilihat dalam kitab al-Arba' in Fi Ushul Al-Din yang merupakan sebuah penyingkapan dari Ihya Ulum ad-Din (Abdullah. 2002:145). Sedangkan pembahasan al-Ghazali tentang akhlak dapat dilihat dalam kedua kitabnya Ihya Ulum ad-Din dan Mizan al-Amal.
Secara aplikatif dapat dilihat sebagaimana ia uraikan dalam Ihya Ulum ad-Din tentang kajian beliau mengenai amal perbuatan manusia (al-akhlaq al-insaniah). Menurut pendapat al-Ghazali, bahwasanya semua tingkah laku dan perbuatan manusia baik yang bersifat baik atau bumk adalah bersumber pada maka syaitan membawa satu bawaan atas akal dan memperkuat daya tariknya (al-Ghazali, 2000,11:589-592).
Ide-ide fundamental ini memiliki peranan penting dalam kontruksi akhlak tasawuf al-Ghazali yang semata-mata bergantung pada rahmat Tuhan. Dan dari filsafat pemikiran itu dapat dimengerti kenapa beliau bersikap demikian, memang ini merupakan hasil dari tahun-tahun terakhir kehidupannya, ketika ia menjalani kehidupan mistiknya, perhatian utamanya selama periode ini adalah kesejahteraan manusia di akhirat dan itulah yang mendasari teori akhlaknya mumi bercprak religius dan mistik.
Dari permasalahan di atas dapat ditarik benang merah antara permasalahan pendidikan yang tidak beres ini, dengan pengalaman al-Ghazali dan karangan-karangan beliau yang berkaitan dengan akhlak, yaitu kosongnya pendidikan dari nilai-nilai akhlakul karimah, suri tauladan dari guru. Yang berdampak pada murid-muiridnya dalam mencapai tujuan pendidikan, hingga bisa dikatakan pendidikan "telah gagal" dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik (Azra, 2002: 178).
Dari fenomena tersebut penulis bercita-cita untuk memunculkan suatu gagasan baru yang dapat mereduksi ajaran akhlak tasawuf sang imam ini dalam pendidikan Islam, paling tidak untuk penulis sendiri

Perumusan masalah
Berdasar pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: Bagaimana pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan akhlak?

Tujuan Dan manfaat Penelitian
1.Tujuan
Dalam setiap penelitian mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Adapun dalam penelitan ini tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui bagaimana konsep Pendidikan Akhlak Menurut Imam al-Ghazali.
2. Manfaat
a.Teoritis
1). Bertujuan untuk memperluas cakrawala dan mendalami bidang yang menjadi spesilaisnya yaitu konsep al-Ghazali dalam pendidikan akhlak.
2). Bagi pendidikan Islam, penelitian ini menjadi salah satu sumbangan pemikiran bagi perbaikan pendidikan Islam di masa yang akan datang sebagai perwujudan salah satu Tri Darma perguruan tingi yang berhubungan dengan penelitian.
b. Praktis
1). Menjadikan suatu ilmu yang sekaligus menjadi pijakan dalam kehidupan di dunia dan bimbingan menuju Ilahi Rabbi.
2). Menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan yang lebih mendalam dan berusaha meninggalkan taqlid .

Kajian Pustaka
Disertasi M. Amin Abdullah (2002) The Idea of Universalitiy of Etichal Norms in Ghazali and Kant. Diterbitkan di Turki 1992, Edisi Indonesia diterbitkan oleh Mizan, 2002. dengan judul "Antara Al-Ghzali Dan Kant Filsafat Islam". Dia menyimpulkan bahwa sumber etika menurut al-Ghazali adalah tindakan secara eksklusif bersumber dari Tuhan, bukan saja nilai-nilainya, namun melainkan juga kehendak dan kemampuan untuk bertindak etis itu sendiri, sedang Kant yang menggunakan pendekatan rasionalitas ia menekankan kepada kausalitas (hukum sebab akibat), sifat aktif pelaku dalam suatu tindakan, apresiasinya terhadap perubahan sosial sebagai salah satu faktor yang harus dikembangkan dalam etika dan pada kepercayaannya bahwa betapa-pun juga rasio masih berperan kalau tidak dalam perumusan etika dalam pemikiran-pemikiran non metafisis.
Andre Dermawan (1998), Filsafat Pengetahuan Islam, Studi Atas Pemikiran Ma 'rifat al-Ghazali. Dalam tesis ini, menurut al-Ghazali ma'rifat ialah suatu ilmu yang menerima pengetahuan tanpa keraguan, dan di sini faktor kemurnian dan kehakikian pengetahuan itu dibuktikan, dasar ma'rifat al-Ghazali adalah musyahadah dengan Allah secara langsung, hal itu sama dengan para sufi yang lain pada umumnya. Menurut beliau ketentraman hati itu hanya akan diperoleh dengan penyucian jiwa. Sedang peranan ma'rifat dalam kehidupan seseorang adalah sejauh mana seseorang itu melakukan dan menjalani paket-paket tasawuf yang telah tentukan. Di sini al-Ghazali mengharuskan adanya syaikh.
Penelitian Nailul Umam Wibowo (2003) berjudul Pendidikan Tasawuf; studi Komparatif Pemikiran al-Ghazali dan Nasr. Dalam penelitian ini ia menjelaskan bahwa pendidikan tasawuf meliputi: pendidikan akidah, syariat dan akhlak. Semua itu harus dilandasi ilmu. Dalam hal pengetahuan, al-Ghazali mengunggulkan ilmu agama atas ilmu umum. Sedangkan Nasr tidak menyinggung bahkan menganggap sumber ilmu adalah satu dan yang terlahir darinya juga satu (monotomi). Inti pendidikan akidah adalah pemahaman Allah, nama dan af'al-nya, dan sifat yang ditetapkan ulama. Sedangkan pendidikan syariat merupakan buah dari akidah. Dalam syariat memiliki makna batin. Untuk mencapai makna batin seseorang harus menjalankan syariat dan menghayati makna di balik itu.
Pendidikan akhlak di peroleh dengan meneladani sifat Rasulullah karena beliau adalah uswah al-hasanah. Perbaikan akhlak melalui beberapa tahap yaitu takhalli (pengosongan diri dari sifat tercela), tahalli (pengisian diri dengan akhlak mulia dan ketaatan), dan tajalli (penampakan buah prilaku mulia). Dalam hal ini di perlukan seorang guru atau mursyid untuk membimbing murid dalam menapak jalan spirituaL Namun pendidikan tasawuf yang dikemukakan mencakup tasawuf secara umum. Sementara masalah akhlak tidak di bahas seecara komprehensif.
Dari uraian kedua penelitian diatas ada penelitian yang hampir sama dengan penelitian yang akan penulis angkat akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup mendasar disini yaitu di mana penelitian pertama pada tataran filosofis idea sedangkan yang kedua-pun hanya sebatas tasawufhya saja, sedang yang akan penults angkat lebih ditekankan pada tataran akhlak sufistis-aplikatif. Di sinilah perbedaannya sehingga peneliti mencoba untuk mengangkat serta meneliti tentang pendidikan akhlak menurut al-Ghazali.

Metode Penelitian
Adapun metode yang diterapkan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research), karena data yang diteliti berupa naskah-naskah, buku-buku atau majalah-majalah yang bersumber dari khazanah kepustakaan (Nazir, 1985:54). Penelitian mi digunakan untuk meneliti tentang faliditas menurut sejarah yang ada, serta mengetahui riwayat hidup al-Ghazali , karya-karya dan pemikirannya.
2. Pendekatan
Adapun pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan histories-filosofis. Di sini peneliti juga melakukan interpretasi. (Sartono, 1993 :77) artinya peneliti, menyelami keseluruhan pemikiran secara mendalam, cara untuk memperoleli penjelasan pemikiran al-Ghazali yang otentik tentang pendidikan akhlak.
3. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi (Arikunto, 1991: 131), yaitu mencari data-data pemikiran al-Ghazali khususnya dalam bidang akhlak dengan menggunakan data primer dan data sekunder.
- Data Primer
Yang menjadi data primer dalam penelitian ini adalah buku karya al-Ghazali yang berjudul Ihya ulum-ad-Din cetakan Dar at-Taqwa Qairo, Mesir terbitan tahun 2000, dan kitab Mizan al-amal diterjemahkan H.Bahruddin "Di puncak Keimanan, Jejak Pendakian Amal Sesuai Timbangan" diterbitkan oleh Cendikia, Jakarta pada tahun 2003 serta al-Munqidz min ad-dhalal. Cetakan al-Maktabah al-Sa 'baniyah Libanon, Bairut tanpa tahun.
- Data sekunder
Data sekunder berupa dokumen-dokumen dan buku-buku yang mengulas tentang karya al-Ghazali, riwayat hidup dan tasawuf al-Ghazali seperti al-Haqiqoh fi an-Nadhar al-Ghazali karya Dr. Sulaiman Dunya, atau karangan al-Ghazali sendiri seperti al-Munqid min ad-Dhalal diterjemahkan oleh Masyur Abadi, "Setitik Cahaya dalam Kegelapan" diterbitkan oleh Pustaka Progressif, Surabaya, tahun 2001. Kitab Majmu' ah Rasaail al-Imam al-Ghazali diterjemahkan oleh Kamran As'ad Irsyady "Samudra Pemikiran al-Ghazali", diterbitkan oleh Pustaka Sufi, Yogyakarta, tahun 2002.
Mi'rajus-Salikiin dan al-Qisthaas al-Mustaqiim diterjemahkan oleh Drs. Wasmukan, "Tangga Ma'rifatullah, Mi'raj as-Salikiin", diterbitkan oleh Risalah Gusti, Surabaya, tahun 2000, Bidayah al-Hidayah diterjemahkan oleh Kamran As'ad Irsyady "al-Ghazali menggapai Hidayah", diterbitkan oleh Pustaka Sufi, Yogyakarta, tahun 2003. Dan buku-buku lain.
4. Analisi Data
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan metode deskriptif analitik. (Sumargono,1983:14), yaitu mengambarkan pemikiran al-Ghazali secara sistematis, sehubungan dengan latar belakang kehidupan dan pemikirannya, pendapat para ahli yang relevan juga digunakan. Tahap berikutnya adalah interpretasi (Sartono, 1992: 77), yaitu memahami seluruh pemikiran al-Ghazali untuk memperoleh kejelasan mengenai pendidikan akhlak. Dalam penelitian ini digunakan cara berpikir deduktif (Hadi, 1989:36-37). Untuk menarik kesimpulan dan digunakan pula studi komparatif untuk membandingkan pemikiran al-Ghazali dengan pemikiran tokoh lain.

Hasil dan Pembahasaan
Dengan mengetahui latar belakang sosial-kultural dan keagamaan akan lebih mudah melacak keterkaitan latar belakang dengan sikap dan pemikirannya. Selanjutnya analisis di fokuskan pada akhlak, pembagaian akhlak dan metode pendidikan akhlak.
A. Keterkaitan latar belakang sosio-kuttural keagamaan dengan pemikiran.
Al-Ghazali hidup pada abad ke-5 Hijriyah atau abada ke-10 Masehi, ini berarti beliau hidup pada masa Daulah Abbasiyah, bentangan masa yang menurut Montgomery Watt disebut masa kemunduran Abbasiyah (Maryam, 2003: 130). Lemahnya kekhahfahan, serangan dari ancaman teror kelompok Bathiniyah (sekte Syi'ah ekstrim) ini menimbulkan perang saudara dalam negeri, hingga al-Ghazali mengarang buku Fadhaih al-Bathiniyah wa Fadhail al-Mustazhiriyah (tercelanya aliran batiniyah dan terpujinya Mustazhiri) (Munawir. 1985: 363). Selain itu ada faktor serangan serangan dari dinasti Syi'ah Buwaihiyah dan Fatimiyyah. Kaum Syiah Qaramitah berhasil mengacau keamanan kota Baghadad dan Makkah serta membawa lari Hajar Aswad. (Lapidus, 2000:263-267).
Pada masa al-Ghazali, dunia Islam telah menjadi sasaran bagi berbagai pengaruh budaya, yaitu kebudayaan Yunani pra-Islam dengan model pemikiran mistik Kristiani, Neo-Platonisme muncul pada abad ke-3 M dan berpengaruh besar terhadap pemikiran Islam. Demikian juga dalam bidang sufisme, pengaruh filsafat Persia dan filsafat India. Pengaruh terbesar adalah pada kepercayaan-kepercayaan Syi'ah ekstrim menyangkut hak ketuhanan untuk memerintah dan hulul-nya Tuhan kedalam tubuh Imam (Richard, dalam al-Ghazali. 2001: 44).
Semasa hidup al-Ghazali ada beberapa kelompok yang mengaku sebagai pemilik kebenaran. Mereka adalah; pertama, filosuf, yang menggali ilmu pengetahuan yang notabene berdasarkan rasional. Kedua kaum fuqoha, yang menekankan hukum lahiriah. Ketiga, golongan sufisme, yang tumbuh berdasarkan ketidak setujuan akan kehidupan para penguasa yang sangat duniawi, juga sebagai anti formalitas agama yang di dengungkan oleh kelompok fuqoha. Pertentangan al-Hallaj dan kaum fuqoha adalah bukti dari kuatnya kesenjangan foqoha dan sufi. Dan keempat, mutakallimun yang membahas ketuhanan dengan pendekatan rasional dan filsafat.
Dari latar belakang ini nampak bahwa al-Ghazali adalah seorang ilmuwan dengan wawasan luas. Ratusan karangannya menunjukkan kecendekiaannya. Namun akhimya, al-Ghazali memilih sufi sebagai jala untuk mencapai kebenaran hakiki. Dengan sufisme pula ia memakai sebagai pisau analisis dalam membedah berbagai permasalahan yang ada. Al-Ghazali dipandang sebagai figur yang pemersatu kaum sufi dan fuqoha. Hal ini terlihat secara jelas dalam karya besarnya Ihya' Ulum al-Diin yang menujukkan bahwa tasawuf bukanlah pemisahan antara syariat dan hakekat. Tasawuf al-Ghazali, menurut Osman Bakar (1997; 195) adalah keseimbangan anatara dimensi eksoteris dan esoteris. Demikian pula kritikan al-Ghazali terhadap filsafat yang melampaui kewenangannya (Leaman, 2002 ;27). Karyanya Tuhaful al-Falasifah dan Maqosid al-Falasifah memuat tentang keberatan al-Gazali pada filosof. Hal ini dilakukan dalam^erangka menjaga akidah umat agar tidak tercampuri apa yang di anggapnya pemikiran asing seperti pemikiran Yunani yang "berbau kafir".
B. Tentang akhlak.
Al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak. Yaitu, bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian teriebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang ia cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada kekejian (al-Ghazali, jilid 2, 2000:599).
Akhlak bukan merupakan "perbuatan", bukan "kekuatan", bukan "ma'rifah" (mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu adalah "hal" keadaan atau kondisi: di mana jiwa mempunyai potensi yang bisa memunculkan dari padanya manahan atau memberi. Jadi akhlak itu adalah ibarat dari " keadaan jiwa dan bentuknya yang bathiniah" (al-Ghazali, jilid 2, 2000:599).
Di satu sisi, pendapat al-Ghazali ini mirip dengan apa yang di kemukakan oleh Ibnu Maskawaih (320-421H/932-1030 M) dalam Tahdzib al akhluk. Tokoh filsafat etika yang hidup lebih dahulu ini menyatakan bahwa akhlak adalah "keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu." la tidak bersifat rasional, atau dorongan nafsu. (Maskawaih, 1985 :56).
C. Pembagian akhlak
Dalam pembagian itu al-Ghazali ( II, 2000: 600) mempunyai 4 kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu kriteria akhlak yang baik dan buruk, yaitu: Kekuatan 'Ilmu, atau hikmah, kekuatan marah, yang terkontrol oleh akal akan menimbulkan sifat syaja'ah, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan keseimbangan (keadilan), (al-Ghazali, jilid 2, 2000: 600). Keempat komponen im merupakan syarat pokok untuk mencapai derajat akhlak yang baik secara mutlak. Semua ini dimiliki secara sempuma oleh Rasulullah. Maka tiap-tiap orang yang dekat dengan empat sifat tersebut, maka ia dekat dengan Rasulullah, berarti ia dekat juga dengan Allah. Keteladanan ini karena Rasulullah 'tiada diulus kecuali uniuk menyempurnakan akhlak' (Ahmad, Hakim dan Baihaqi)
Dengan meletakkan ilmu sebagai kriteria awal tentang baik dan buruknya akhlak, al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan pengetahuan, sebagaimana dilakukan oleh al-Farabi dan Ibnu Maskawaih (Najati, 2002;235). Hal ini terbukti dengan pembahasan awal dalam Ihya' adalah bab tentang keutamaan ilmu dan mengamalkannya. Sekalipun demikain ia akhlak tak ditentukan sepenuhnya oleh ilmu, juga oleh faktor lainnya.
Kriteria yang dipakai al-Ghazali juga telah diperkenalkan oelh Ibnu Maskawaih. Bagian akhlak menurut Ibnu Maskawaih (1985:46-49) adalah; kearifan (yang bersumber dari ilmu), kesederhanaan, berani dan kedermawanan serta keadilan. Semua unsur ini bersifat seimbang (balance/wasath). Dalam perspektif filsafat etika mulai dari Yunani masa Aristoteles hingga modem, keadilan beserta factor lainnya yang menjadi kriteria ini juga dipakai filosof Kohlberg, John Dewey dan Emile Durkheim. Kohlberg (1995:32-35) menyatakan bahwa keadilan ini akan menjadi norma dasar moralitas masyarakat modern yang beradab.
Sementara untuk pembagian akhlak baik dan buruk, al-Ghazali tak berbeda dengan banyak tokoh lainnya. la membagi akhlak menjadi yang baik atau mahmudah dan madzmumah atau buruk (Nata, 1997:103). Dalam Ihya' al-Ghazali (2002; 2) membagi menjadi empat bagian yaitu ibadah, adab, akhlak yang menghancurkan (muhlikat) dan akhlak yang menyelamatkan (munjiyal). Akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'. Sedangkan akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati.
Bila ditinjau pembagian yang merusak dan dan menyelamatkan adalah al-Ghazali meletakkan akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini dalam tasawuf disebut hal atau kondisi batiniah. Akhlak lahiriah seperti dermawan pada fakir miskin tak ada gunanya bila tanpa diringi akhlak batiniah seperti keihklasan.
D. Metode pendidikan akhlak
Menurut al-Ghazali (2003; 72-73)., ada dua cara dalam mendidik akhlak, yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Selain itu juga ditempuh dengan jalan pertama, memohon karunia Illahi dan sempumanya fitrah (kejadian), agar nafsu-syahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu berilmu (a'lim) tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu ini disebut juga dengan ladunniah.
Kedua, akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu dengan membawa diri kepada perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak tersebut. Singkatnya, akhlak berubah dengan pendidikan latihan. (al-Ghazali, 2000;601-602).
E. Pendidikan akhlak menurut al-Ghazali.
Dua sistem pendidikan akhlak menurut pendapat-pendapat al-Ghazali adalah: pendidikan non fonnal dan non formal. "Pendidikan ini berawal dari non formal dalam lingkup keluarga, mulai pemeliharaan dan makanan yang dikonsumsi. Selanjutnya Bila anak telah mulai nampak daya hayalnya untuk membeda-bedakan sesuatu (tamyiz), maka perlu diarahkan kepada hal positif. Al-Ghazali juga menganjurkan metode cerita (hikayaf), dan keteladanan (uswah al hasanah). Anak juga perlu dibiasakan melakukan sesuatu yang baik. Disamping itu pergaulan anakpun perlu diperhatikan, karena pergaulan dan lingkungan itu memiliki andil sangat besar dalam pembentukan keperibadian anak-anak.
Bila sudah mencapai usia sekolah, maka kewajiban orang tua adalah menyekolahkan kesekolah yang baik, dimana ia diajarkan al-Quran, Hadits dan hal hal yang bennanfaat. Anak perlu dijaga agar tidak terperosok kepada yang jelek, dengan pujian dan ganjaran (reward). Jika anak itu melakukan kesalahan, jangan dibukakan di depan umum. Bila terulang lagi, diberi ancaman dan sanksi yang lebih berat dari yang semestinya. Anak juga punya hak istirahat dan bermain, tetapi pennainan adalah yang mendidik, selain sebagai hiburan anak. (al-Ghazali, 2000;624-627).
Pendapat al-Ghazali ini senada dengan pendapat Muhammad Qutb dalam dalam System Pendidikan Islam (1993). Metode ini meliputi keteladanan, nasehat, hukuman, cerita, dan pembiasaan. Bakat anak juga perlu digali dan disalurkan dengan berbagai kegaitan agar waktu waktu kosong menjadi bermanfaat bagi anak. Hal ini adalah pelaksanaan hadist Nabi agar anak dididik memanah, berenang dan menunggang kuda. Sementara pengaruh lingkungan menurut Ustman Najati (2002;35) berpengaruh besar pada anak, sebagaimana sabda Rasulullah; "laki-laki itu tergantung temannya, maka hendaklah kalian melihat kepada siapa ia berteman. " (HR Abu Daud dan Tirmidzi)
Perhatian al-Ghazali terhadap faktor makanan baik orang tua atau anak merupakan hal menarik. Ini menurutnya akan menjadi gen baik dan buruk bagi perkembangan generasi. Demikain pula pendidikan di rumah serta pergaulan. Dalam konteks ini al-Ghazali setuju dengan aliran konvergensi yang menyatakan pandidikan di tentukan oleh titik temu faktor keturunan dan lingkungan (Purwanto, 1990; 14-17). Sementara metode pembiasaan dalam psikologi modern dikenal dengan kondisioning ala Ivan Petrovic Pavlov dan Watson. Dua psikolog yang meneliti pada kebiasaan anjing ini menyatakan semua mahluk hidup berdasarkan kebiasaan. Bila terbiasa baik maka ia akan baik atau demikian juga sebaliknya. Pembiasaan akan menimbulkan sifat refleks yang tanpa pemikiran. (Purwanto, 1990;90, Suiyabrata. 1993:284-287). Dengan demikian gerak refleks ala Pavlov sama dengan haal (kondisi) yang di ungkapkan al-Ghazali.
Sementara untuk pendidikan formal, al-Ghazali mensyaratkan adanya seorang guru atau mursyid yang mempunyai kewajiban antara lain: mencontoh Rasulullah tidak meminta imbalan, bertanggung jawab atas keilmuannya, Hendaklah ia membatasi pelajaran menurut pemahaman mereka. Hendaklah seorang guru ilmu praktis (syar'i) mengamalkan ilmu, yang amal itu dilihat oleh mata dan ilmu dilihat oleh hati, tapi orang yang melihat dengan mata kepala itu lebih banyakdari mereka yang melihat dengan mata hati.(al-Ghazali, 2003; 153-160).
Adapun kewajiban murid adalah: memperioritaskan kebersihan hati, tidak sombong karena ilmunya dan tidak menentang guru, dalam belajar seorang murid janganlah menerjunkan dalam suatu ilmu secara sekaligus, tetapi berdasarkan perioritas. Semua ini diniatkan untuk bertaqarub kepada Allah. Bukan untuk memperoleh kepemimpinan, harta dan pangkat. (al-Ghazali.2000; 101-110). Dengan peraturan pengajar dan pelajar, al-Ghazali membuat suatu sistem yang membentuk satu komunitas pendidikan. Dimana hubungan antara seorang guru dan murid sangat sarat dengan peraturan yang satu dan yang lainnya.
Kewajiban guru dan murid, serta pembagian ilmu yang dilakukan al-Ghazali menurut para tokoh merupakan bukti dari pengetahuan dan pengalamannya sebagi seorang pendidik sewaktu di Nizamiyah Baghdad.
Pengalaman sewaktu berstatus siswa dalam mencari ilmu dan guru yang mengajar di ungkapkan secara detail melebihi pembahasan pakar lainnya.
Namun di satu sisi, pembagian al-Ghazali terhadap ilinu menjadi yang fardhu 'ain dipelajari dan fardhu kifayah, ilmu agama dan ilmu umum mendapatkan kritikan tajam. Menurut Fazlurrahman (dalam Bakar, 1997:247) pembagian ilmu menjadi religius dan intelektual "merupakan pembedaan paling malang yang pernah di buat dalam sejarah intelektual Islam". Memang sarjana tidak menolak ilmu intelektual tetapi kemunduran Islam, salah satu sebabnya adalah "pengabaian ilmu intelektual". Mahdi Ghulsyani (1995:44-45) juga menolak pembagian ilmu al-Ghazali. Karena "klasifikasi ini bisa menyebabkan miskonsepsi bahwa ilmu non agama terpisah dari Islam, dan ini tidak sesuai dengan prinsip universalitas Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam". Demikian juga, Amin Abdullah (2002;31) mengkritik pendapat al-Ghazali tentang kewajiban adanya mursyid (pembimbing moral) bagi seorang yang ingin menempuh pendidikan akhlak dalam kaitannya dengan tasawuf. Pemikiran rasional modem cenderung menolak posisi murid yang menurut al-Ghazali "seperti mayat di tangan orang yang memandikan" atau "ilmu lanpa guru, maka gurunya adalah Syetan ".
F. Pendidikan akhlak al-Ghazali presfektif filsafat Pendidikan
Dalam konteks pemikiran filsafat pendidikan al-Ghazali menganut filsafat teosentris, yang di dalamnya memuat asas teologis, di mana konsep antroposentris merupakan bagian esensial dari konsep teosentris. Sedang ditinjau dari segi zaman al-Ghazali termasuk kelompok Tradisonal yaitu Perenialism—Essentilaism. Hal itu dilihat dari dasar filsafat pemikirannya yaitu al-Quran dan al-sunnah dan atsar para sahabat Nabi, dikatakan essensialis karena pendidikan al-Ghazali adala pendidikan nilai-nilai yang tinggi atau budi pekerti yang luhur hanya saja lebih bersifat sufistik atu antroposentris.
Dalam epistimologi pengetahuan sama dengan teorinya John locke yaitu Progresivisme dalam teori pendidikaan yang terkenal dengan kertas putih "tabularasa" kemudian dalam klasifikasi pengembangan filsafat pendidikan Islam konsep al-Ghazali cenderung lebih dekat kepada Tipologi Tekstual salafi.

Kesimpulan
Akhlak menurut Al-Ghazali adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Akhlak bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma'rifah. Akhlak adalah "haal" atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah
Kriteria akhlak yaitu: kekuatan ilmu, marah yang terkontrol oleh akal, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan keadilan. Dengan meletakkan ilmu sebagai kriteria awal, Al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan pengetahuan. Hal ini merupakan pengembangan ide Ibnu Maskawaih di era klasik, dan sesuai dengan pendapat kalangan Barat modem seperti Kohlberg, John Dewey dan Emile Durkheim.
Al-Ghazali membagi akhlak menjadi mahmudah-munjiyat (baik dan menyelamatkan) dan madzmumah-muhlikat (buruk dan menghancurkan). Akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati. Sedangkan akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'.
Metode pendidikan akhlak menurut al-Ghazali ada dua yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan diulang-ulang dan memohon kaninia Ilahi.
Pendidikan akhlak menurut al-Ghazali adalah: pendidikan non formal dan non formal. Pendidikan non formal dalam keluarga. Al-Ghazali menganjurkan metode cerita (hikayat), dan keteladanan (uswah al hasanah). Anak dibiasakan melakukan kebaikan. Pergaulan anak perlu diperhatikan,.
Orang tua wajib menyekolahkan anak ke lembaga pendidikan formal. Diperlukan pujian dan hukuman (reward and punishment). Anak punya hak istirahat dan bermain. Al-Ghazali mensyaratkan adanya seorang guru atau mursyid yang ikhlas, bertanggung jawab, mengamalkan ilmunya. Kewajiban murid adalah: menjaga kebersihan hati, tidak sombong dan tidak menentang guru, dalam belajar diniatkan untuk bertaqarrub kepada Allah.

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin.2002. Antara Ghazali dan Kant, (terj.). Bandung: Mizan.
Al-Ghazali, 2000. Ihya Ulumuddin, Qairo, Mesir: Daar al-Taqwa.
_________, tth. Al-Munkid min al-Dhalal. Libanon. Beirut: Maktabah as-Sa'baniyah.
_________, 2003. Bidayah al-Hidayah (terj.). Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Al-Naquib, Al-Alatas, 1990. Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung: Mizan.
Arifin H.M. 1991. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsini, 1998. Prosedur penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Darojat, Zakiyah. 1995. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: Ruhama.
Ensiklopedi Islam. 1993. Jakarta: Ictiar Baru Van Hove.
Lannggulung. Hasan. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21. Jakarta: Pustaka Husna.
Muhaimin. 2003. Wacana pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

SUMBER Hamdani Rizal dan Saifuddin Zuhri

Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta