Rabu, 18 November 2009

PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK

ABSTRAK

Beberapa tahun yang lalu tepatnya tanggal 12-15 Met 1997 kita mengalami kejadian yang dahsyat sepanjang pemerintahan orde baru, jatuhya rejim penguasa orba ternyata banyak sekali memakan korban bangsa ini, hal itu sangat naif jika di tinjau dari sudut pandang pendidikan. Berdasar pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah: Bagaimana pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan akhlak?. Dalam penelitan ini tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui bagaimana konsep Pendidikan Akhlak Menurut Imam al-Ghazali.
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan metode deskriptif analitik. Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa Akhlak menurut Al-Ghazali adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Akhlak bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma'rifah. Akhlak adalah "haal" atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah

Latar belakang masalah
Seiring dengan berlalunya masa kenabian, syariat Islam semakin tenggelam, dan manusia disibukkan dengan kesibukan dunia. Akibatnya lenyaplah peranan akhlak yang telah membentuk generasi pertama yang mulia dari umat ini.
Para Shalaf al-Shalih memotivasi manusia untuk berpegang teguh kepada al-Kitab dan al-Sunnah serta menjauhi bid'ah. Bahkan mereka mengkhawatirkan apa yang diperolehnya, baik itu berupa pakaian, kendaraan, pernikahan bahkan jabatannya. Mereka takut bila kenikmatan dunia termasuk kenikmatan akhirat yang dipercepat hanya dirasakan di dunia saja. Sebagaimana shahabat Umar bin Al-khatab ra berkata:
"Kalaulah aku tidak takut kebaikanku berkurang, aku akan mengikuti pola kehidupan kalian yang enak, namun aku telah mendengar Allah SWT menjelaskan tentang suatu kaum:
'kamu telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan duniamu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengan nya' (QSAl-Ahqaf:20) Yang membedakan Ahli Allah dengan selainnya adalah mereka selalu mengharapkan akhirat dan mempersiapkan diri atas segala peristiwa yang terjadi disana" (Farid,2003:43).
Begitulah kehidupan dan akhlak mereka para salafu ashalih, lain dengan kehidupan kita sekarang ini, apalagi dalam konteks yang lebih makro. Beberapa tahun yang lalu tepatnya tanggal 12-15 Met 1997 kita mengalami kejadian yang dahsyat sepanjang pemerintahan orde baru, jatuhya rejim penguasa orba ternyata banyak sekali memakan korban bangsa ini, hal itu sangat naif jika di tinjau dari sudut pandang pendidikan, dalam demontrasi-demontrasi itu segalanya ternyata terjadi; pemerkosaan, penjarahan, perusakan fasilitas umum bahkan pembunuhan, itu yang kelihatan jelas, (terlepas dari apakah mereka yang melakukan itu kaum terpelajar atau tidak, yang jelas demontrasi itu atas nama kaum terpelajar) bukan lagi masalah yang memang telah mewabah dari dulu yaitu kegiatan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di mana-mana hampir di semua instansi baik pemerintah maupun sipil. Kalau tidak KKN itu dikatakan kuno, ketinggalan, "orang jujur akan hancur".
Jika dilihat dari kaca mata pendidikan, hal yang demikian itu mungkin terjadi, karena memang selama ini pendidikan kita lebih berkonsentrasi kepada pembangunan ekonomi pragmatis dengan orientasi keuntungan jangka pendek yang lebih kasat mata, imbasnya pada pendidikan ialah terbengkalainya pendidikan nasional kita, pantaslah apa yang dikatakan Ahmad Tafsir bahwa "pendidikan kita dianggap gagal karena tidak mampu menghasilkan manusia berkualitas, beriman, dan berakhlak tinggi yang benar dari sifat kesewenang-wenangan yang muncul dalam prilaku KKN " (Mimbar Pendidikan, 1998:24).
H.M.Idris Suryana KW (1998:12) berpendapat:
"Selama ini pendidikan kita lebih banyak menggunakan literatur barat yang steril dan terlepas dari nilai-nilai, penanaman keimanan dan keislaman. Oleh karena itu sumber-sumber informasi perlu diseimbangkan dengan banyak menulis literatur ilmu pengetahuan berdasarkan nilai-nilai Islam, tapi hal itu bukan berarti mendikotomikan antara umum dan ilmu-ilmu agama".
Pendidikan yang hanya terbatas pada belantara kulit-kulit teori hanya akan melahirkan pendidikan yang bersifat "dogmatis" tidak "kreatif". Sebaliknya pendidikan yang berwawasan nilai, secara metodologis tidak hanya merupakan transformasi dan proses intruksional melainkan sampai pada proses intemalisasi dan trans-internalisasi nilai. Pendidikan berwawasan nilai akan meletakan kebenaran ilmiah adalah pada kebenaran yang bersifat hipotetika-verifikatif yang selalu mendorong para ilmuwan untuk meneruskan kebenaran yang telah diajukan oleh para ilmuwan lain.
Sedangkan kaitannya dengan nilai Ilahiyah dalam pendidikan yang berwawasan nilai tidak berhenti sampai pada apa yang di sebutkan di atas, namun sampai pada tataran "hakikat" dan "ma 'rifat dan nilai seperti itulah yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam (Ismail dan Mukti, 2000:26-27). Lebih lanjut Hj. Melly Sri Sulastri menjelaskan bahwa:
Pendidikan perlu diartikan sebagai upaya sadar mengembangkan seluruh potensi keperibadian individu manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, guna mencapai kehidupan pribadi sebagai Nafsun Thaibun warabbun ghaffur, kehidupan keluarga yang Ahlun thaiyibun warabbun Ghafur, kehidupan masyarakat sebagai Qoryatun Thaibatun wararabbun ghafur serta kehidupan bernegara sebagai Baldatun thaibatun warabbun ghafurr. Gambaran ini akan terjadi jika acuan pendidikan adalah pendidikan al-akhlak al-karimah dengan pembinaan amar ma 'ruf nahi munkar (Mimbar Pendidikan, 2001:5 8).
Dari penjelasan di atas itulah maka pendidikan Islam menjadi suatu tuntutan dan kebutuhan mutlak umat manusia dan bertujuan sebagai berikut:
a. Untuk menyelamatkan anak-anak, dari ancaman dan hilang sebagai korban hawa nafsu para orang tua terhadap kebendaan, sistem materialiatis non humanistis, pemberian kebebasan yang berlebihan dan pemanjaan.
b. Untuk menyelamatkan anak-anak, di lingkungan bangsa-bangsa sedang berkembang dan lemah dari ketundukan, kepatuhan dan penyerahan diri kepada kedhaliman dan penjajahan.
Semua itu akan tercapai dengan pendidikan Islam yang menanamkan kemuliaan dan perasaan terhonnat ke dalam jiwa manusia, bahkan kesungguhan untuk mencapainya (An-Nahlawi, 1991:40). Dalam hal ini akan ditemukan pemahaman yang lebih mendalam dari pendapatnya, menurutnya tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kehebatan, kemegahan, kegagahan atau mendapatkan kedudukan dan menghasilkan uang. Karena kalau pendidikan tidak diarahkan kepada mendekatkan diri kepada Allah, akan menimbulkan kedengkian, kebencian dan permusuhan (an-Nawawi.t.t.: 3). Lebih lanjut mengatakan bahwa orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga orang itu derajatnya lebih tinggi di sisi Allah dan lebih luas kebahagiaanya di akhirat. Ini menunjukan bahwa tujun pendidikan menurut tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan menjadikan dunia itu sebagai alat (Nata.1997:163).
Menurut H.M. Arifin, guru besar dalam bidang pendidikan, bila dipandang dari segi filosofis, adalah penganut faham Idealisme yang konsekwen terhadap agama sebagai dasar pandangannya. (Arifin. 1997: 87). Sedangkan dalam masalah pendidikan lebih cenderung kepada faham Empirisme. Hal ini antara lain karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik.
Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua dan pendidikannya. Hati seorang anak itu bersih, mumi, laksana permata yang amat berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun, dalam kata lain adalah fitrah (Nala.1997 :161). Jika anak menerima ajaran yang baik dan kebiasan hidup yang baik, maka anak itu menjadi baik. Sebaliknya jika anak itu dibiasakan melakukan perbuatan buruk dan dibiasakan kepada hal-hal yang jahat, maka anak itu akan berakhlak jelek.
Dalam hal ini dapat dilihat peran teori fitrah dalam pembentukan manusia yang paripuma, sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yaitu untuk mendidik warga negara Mu'min dan masyarakat muslim agar dapat merealisasikan ubudiah kepada Allah semata (An-Nahlawi,1991: 179). Dan dengan terealisasikannya atau termanifestasikan nilai penghambaan seseorang dalam kehidupannya, maka ia akan menjadi individu yang baik dan bet-akhlakul karimah.
Dan ini tidak bisa lepas dari pada fungsi agama, terutama Islam» di mana agama sebagai directive system dan defensive system dalam kehidupan yang juga sebagai supreme morality yang memberikan landasan dan kekuatan etik spiritual masyarakat, ketika mereka berdialektika dalam proses perubahan. (Rahmat, 1994:40). Maka pendidikan agama memegang peranan yang amat penting dan strategis dalam rangka mengaktualisasikan ajaran-ajaran, nilai-nilai luhur dan mensosialisasikan serta mentransformasikan nilai-nilai itu dalam dunia pendidikan, yang selanjutnya akan dimanifestasikan oleh peserta didik pada kontek dialektika kehidupan, untuk membentuk insan kamil.
Dari problematika di atas, penulis ingin mengangkat seorang figur klasik yaitu al-Ghazali. Dikenal sebagai seorang teolog, filosof, dan sufi dari aliran Sunni, terutama dalam permasalahan akhlak, baik kaitannya dengan pendidikan maupun mu'amalah dalam masyarakat secara filosofis teoritik dan aplikatif.
Sebelum diselami secara mendalam pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan akhlak penting untuk mengetahui teriebih dahulu beberapa pemikirannya. Hal ini untuk memudahkan menganalisis pemikiran tentang pendidikan akhlak.
Pertama tentang tujuan manusia. Al-Ghazali menerangkan bahwa tujuan manusia sebagai individu adalah mencapai kebahagiaan dan kebahagiaan yang paling utama harus diketemukan di kehidupan yang akan datang, sarana utama kepada tujuan itu ada dua macam amal baik lahiriah berupa ketaatan kepada aturan-aturan tingkah laku yang diwahyukan dalam kitab suci dan upaya bathiniah untuk mencapai keutamaan jiwa. Amal baik lahiriyah bermanfaat karena ketaatan di samping dibalas langsung untuk kebaikan itu sendiri, juga mendukung akan perolehan keutamaan, namun kondisi bathin lebih penting dalam pandangan Tuhan daripada amal baik lahiriyah dan lebih mendatangkan pahala keutamaan. Di samping itu berpendapat bahwa kejahatan dan kebaikan hanya dapat diketahui melalui wahyu (dan tidak melalui rasio alamiah)
Dalam masalah "keutamaan", al-Ghazali menyamakan dengan ketaatan kepada Tuhan, dan karenanya pengkajian tentang keutamaan Islami secara mendasar merupakan deskripsi tentang cara yang tepat untuk melaksanakan perintah-perintah Tuhan, al-Ghazali selanjutnya membagi perintah-perintah ini kepada dua bagian, yaitu yang berkaitan dengan Tuhan (hablum min Allah). Dan hubungan manusia kepada sesamanya (hablum min an-Nas). Kelompok pertama disebut perbuatan-perbuatan penyembahan (ibadat), seperti shalat, bersuci, zakat, puasa dan haji. Pembagian ini dapat dilihat dalam Ihya ulum ad-Din jilid pertama. Adapun kelompok kedua adalah adat (adah) semacam makanan, perkawinan, transaksi yang diperbolehkan dan dilarang dan adab musyafir (bepergian). Ini dapat dilihat dalah Ihya ulum ad-Din jilid kedua. Sedangkan puncak daripada keutamaan dan kebahagian tertinggi adalah melihat Tuhan atau berdekatan dengan-Nya, interprestasi ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar terpelajar (ulama) bukan ahli hukum, teolog maupun filosof, melainkan hanya ahli tasawuf (mistik).
Al-Ghazali membahas keutamaan mi dalam rub 'u IV dari Ihya ulum ad-Din, yang dapat dilihat dalam Ihya ulum ad-Din jilid ketiga dan empat juga dapat pula dilihat dalam kitab al-Arba' in Fi Ushul Al-Din yang merupakan sebuah penyingkapan dari Ihya Ulum ad-Din (Abdullah. 2002:145). Sedangkan pembahasan al-Ghazali tentang akhlak dapat dilihat dalam kedua kitabnya Ihya Ulum ad-Din dan Mizan al-Amal.
Secara aplikatif dapat dilihat sebagaimana ia uraikan dalam Ihya Ulum ad-Din tentang kajian beliau mengenai amal perbuatan manusia (al-akhlaq al-insaniah). Menurut pendapat al-Ghazali, bahwasanya semua tingkah laku dan perbuatan manusia baik yang bersifat baik atau bumk adalah bersumber pada maka syaitan membawa satu bawaan atas akal dan memperkuat daya tariknya (al-Ghazali, 2000,11:589-592).
Ide-ide fundamental ini memiliki peranan penting dalam kontruksi akhlak tasawuf al-Ghazali yang semata-mata bergantung pada rahmat Tuhan. Dan dari filsafat pemikiran itu dapat dimengerti kenapa beliau bersikap demikian, memang ini merupakan hasil dari tahun-tahun terakhir kehidupannya, ketika ia menjalani kehidupan mistiknya, perhatian utamanya selama periode ini adalah kesejahteraan manusia di akhirat dan itulah yang mendasari teori akhlaknya mumi bercprak religius dan mistik.
Dari permasalahan di atas dapat ditarik benang merah antara permasalahan pendidikan yang tidak beres ini, dengan pengalaman al-Ghazali dan karangan-karangan beliau yang berkaitan dengan akhlak, yaitu kosongnya pendidikan dari nilai-nilai akhlakul karimah, suri tauladan dari guru. Yang berdampak pada murid-muiridnya dalam mencapai tujuan pendidikan, hingga bisa dikatakan pendidikan "telah gagal" dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik (Azra, 2002: 178).
Dari fenomena tersebut penulis bercita-cita untuk memunculkan suatu gagasan baru yang dapat mereduksi ajaran akhlak tasawuf sang imam ini dalam pendidikan Islam, paling tidak untuk penulis sendiri

Perumusan masalah
Berdasar pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut: Bagaimana pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan akhlak?

Tujuan Dan manfaat Penelitian
1.Tujuan
Dalam setiap penelitian mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Adapun dalam penelitan ini tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui bagaimana konsep Pendidikan Akhlak Menurut Imam al-Ghazali.
2. Manfaat
a.Teoritis
1). Bertujuan untuk memperluas cakrawala dan mendalami bidang yang menjadi spesilaisnya yaitu konsep al-Ghazali dalam pendidikan akhlak.
2). Bagi pendidikan Islam, penelitian ini menjadi salah satu sumbangan pemikiran bagi perbaikan pendidikan Islam di masa yang akan datang sebagai perwujudan salah satu Tri Darma perguruan tingi yang berhubungan dengan penelitian.
b. Praktis
1). Menjadikan suatu ilmu yang sekaligus menjadi pijakan dalam kehidupan di dunia dan bimbingan menuju Ilahi Rabbi.
2). Menumbuhkan keimanan dan ketaqwaan yang lebih mendalam dan berusaha meninggalkan taqlid .

Kajian Pustaka
Disertasi M. Amin Abdullah (2002) The Idea of Universalitiy of Etichal Norms in Ghazali and Kant. Diterbitkan di Turki 1992, Edisi Indonesia diterbitkan oleh Mizan, 2002. dengan judul "Antara Al-Ghzali Dan Kant Filsafat Islam". Dia menyimpulkan bahwa sumber etika menurut al-Ghazali adalah tindakan secara eksklusif bersumber dari Tuhan, bukan saja nilai-nilainya, namun melainkan juga kehendak dan kemampuan untuk bertindak etis itu sendiri, sedang Kant yang menggunakan pendekatan rasionalitas ia menekankan kepada kausalitas (hukum sebab akibat), sifat aktif pelaku dalam suatu tindakan, apresiasinya terhadap perubahan sosial sebagai salah satu faktor yang harus dikembangkan dalam etika dan pada kepercayaannya bahwa betapa-pun juga rasio masih berperan kalau tidak dalam perumusan etika dalam pemikiran-pemikiran non metafisis.
Andre Dermawan (1998), Filsafat Pengetahuan Islam, Studi Atas Pemikiran Ma 'rifat al-Ghazali. Dalam tesis ini, menurut al-Ghazali ma'rifat ialah suatu ilmu yang menerima pengetahuan tanpa keraguan, dan di sini faktor kemurnian dan kehakikian pengetahuan itu dibuktikan, dasar ma'rifat al-Ghazali adalah musyahadah dengan Allah secara langsung, hal itu sama dengan para sufi yang lain pada umumnya. Menurut beliau ketentraman hati itu hanya akan diperoleh dengan penyucian jiwa. Sedang peranan ma'rifat dalam kehidupan seseorang adalah sejauh mana seseorang itu melakukan dan menjalani paket-paket tasawuf yang telah tentukan. Di sini al-Ghazali mengharuskan adanya syaikh.
Penelitian Nailul Umam Wibowo (2003) berjudul Pendidikan Tasawuf; studi Komparatif Pemikiran al-Ghazali dan Nasr. Dalam penelitian ini ia menjelaskan bahwa pendidikan tasawuf meliputi: pendidikan akidah, syariat dan akhlak. Semua itu harus dilandasi ilmu. Dalam hal pengetahuan, al-Ghazali mengunggulkan ilmu agama atas ilmu umum. Sedangkan Nasr tidak menyinggung bahkan menganggap sumber ilmu adalah satu dan yang terlahir darinya juga satu (monotomi). Inti pendidikan akidah adalah pemahaman Allah, nama dan af'al-nya, dan sifat yang ditetapkan ulama. Sedangkan pendidikan syariat merupakan buah dari akidah. Dalam syariat memiliki makna batin. Untuk mencapai makna batin seseorang harus menjalankan syariat dan menghayati makna di balik itu.
Pendidikan akhlak di peroleh dengan meneladani sifat Rasulullah karena beliau adalah uswah al-hasanah. Perbaikan akhlak melalui beberapa tahap yaitu takhalli (pengosongan diri dari sifat tercela), tahalli (pengisian diri dengan akhlak mulia dan ketaatan), dan tajalli (penampakan buah prilaku mulia). Dalam hal ini di perlukan seorang guru atau mursyid untuk membimbing murid dalam menapak jalan spirituaL Namun pendidikan tasawuf yang dikemukakan mencakup tasawuf secara umum. Sementara masalah akhlak tidak di bahas seecara komprehensif.
Dari uraian kedua penelitian diatas ada penelitian yang hampir sama dengan penelitian yang akan penulis angkat akan tetapi terdapat perbedaan yang cukup mendasar disini yaitu di mana penelitian pertama pada tataran filosofis idea sedangkan yang kedua-pun hanya sebatas tasawufhya saja, sedang yang akan penults angkat lebih ditekankan pada tataran akhlak sufistis-aplikatif. Di sinilah perbedaannya sehingga peneliti mencoba untuk mengangkat serta meneliti tentang pendidikan akhlak menurut al-Ghazali.

Metode Penelitian
Adapun metode yang diterapkan meliputi hal-hal sebagai berikut:
1.Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kepustakaan (library research), karena data yang diteliti berupa naskah-naskah, buku-buku atau majalah-majalah yang bersumber dari khazanah kepustakaan (Nazir, 1985:54). Penelitian mi digunakan untuk meneliti tentang faliditas menurut sejarah yang ada, serta mengetahui riwayat hidup al-Ghazali , karya-karya dan pemikirannya.
2. Pendekatan
Adapun pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan histories-filosofis. Di sini peneliti juga melakukan interpretasi. (Sartono, 1993 :77) artinya peneliti, menyelami keseluruhan pemikiran secara mendalam, cara untuk memperoleli penjelasan pemikiran al-Ghazali yang otentik tentang pendidikan akhlak.
3. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi (Arikunto, 1991: 131), yaitu mencari data-data pemikiran al-Ghazali khususnya dalam bidang akhlak dengan menggunakan data primer dan data sekunder.
- Data Primer
Yang menjadi data primer dalam penelitian ini adalah buku karya al-Ghazali yang berjudul Ihya ulum-ad-Din cetakan Dar at-Taqwa Qairo, Mesir terbitan tahun 2000, dan kitab Mizan al-amal diterjemahkan H.Bahruddin "Di puncak Keimanan, Jejak Pendakian Amal Sesuai Timbangan" diterbitkan oleh Cendikia, Jakarta pada tahun 2003 serta al-Munqidz min ad-dhalal. Cetakan al-Maktabah al-Sa 'baniyah Libanon, Bairut tanpa tahun.
- Data sekunder
Data sekunder berupa dokumen-dokumen dan buku-buku yang mengulas tentang karya al-Ghazali, riwayat hidup dan tasawuf al-Ghazali seperti al-Haqiqoh fi an-Nadhar al-Ghazali karya Dr. Sulaiman Dunya, atau karangan al-Ghazali sendiri seperti al-Munqid min ad-Dhalal diterjemahkan oleh Masyur Abadi, "Setitik Cahaya dalam Kegelapan" diterbitkan oleh Pustaka Progressif, Surabaya, tahun 2001. Kitab Majmu' ah Rasaail al-Imam al-Ghazali diterjemahkan oleh Kamran As'ad Irsyady "Samudra Pemikiran al-Ghazali", diterbitkan oleh Pustaka Sufi, Yogyakarta, tahun 2002.
Mi'rajus-Salikiin dan al-Qisthaas al-Mustaqiim diterjemahkan oleh Drs. Wasmukan, "Tangga Ma'rifatullah, Mi'raj as-Salikiin", diterbitkan oleh Risalah Gusti, Surabaya, tahun 2000, Bidayah al-Hidayah diterjemahkan oleh Kamran As'ad Irsyady "al-Ghazali menggapai Hidayah", diterbitkan oleh Pustaka Sufi, Yogyakarta, tahun 2003. Dan buku-buku lain.
4. Analisi Data
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis dengan metode deskriptif analitik. (Sumargono,1983:14), yaitu mengambarkan pemikiran al-Ghazali secara sistematis, sehubungan dengan latar belakang kehidupan dan pemikirannya, pendapat para ahli yang relevan juga digunakan. Tahap berikutnya adalah interpretasi (Sartono, 1992: 77), yaitu memahami seluruh pemikiran al-Ghazali untuk memperoleh kejelasan mengenai pendidikan akhlak. Dalam penelitian ini digunakan cara berpikir deduktif (Hadi, 1989:36-37). Untuk menarik kesimpulan dan digunakan pula studi komparatif untuk membandingkan pemikiran al-Ghazali dengan pemikiran tokoh lain.

Hasil dan Pembahasaan
Dengan mengetahui latar belakang sosial-kultural dan keagamaan akan lebih mudah melacak keterkaitan latar belakang dengan sikap dan pemikirannya. Selanjutnya analisis di fokuskan pada akhlak, pembagaian akhlak dan metode pendidikan akhlak.
A. Keterkaitan latar belakang sosio-kuttural keagamaan dengan pemikiran.
Al-Ghazali hidup pada abad ke-5 Hijriyah atau abada ke-10 Masehi, ini berarti beliau hidup pada masa Daulah Abbasiyah, bentangan masa yang menurut Montgomery Watt disebut masa kemunduran Abbasiyah (Maryam, 2003: 130). Lemahnya kekhahfahan, serangan dari ancaman teror kelompok Bathiniyah (sekte Syi'ah ekstrim) ini menimbulkan perang saudara dalam negeri, hingga al-Ghazali mengarang buku Fadhaih al-Bathiniyah wa Fadhail al-Mustazhiriyah (tercelanya aliran batiniyah dan terpujinya Mustazhiri) (Munawir. 1985: 363). Selain itu ada faktor serangan serangan dari dinasti Syi'ah Buwaihiyah dan Fatimiyyah. Kaum Syiah Qaramitah berhasil mengacau keamanan kota Baghadad dan Makkah serta membawa lari Hajar Aswad. (Lapidus, 2000:263-267).
Pada masa al-Ghazali, dunia Islam telah menjadi sasaran bagi berbagai pengaruh budaya, yaitu kebudayaan Yunani pra-Islam dengan model pemikiran mistik Kristiani, Neo-Platonisme muncul pada abad ke-3 M dan berpengaruh besar terhadap pemikiran Islam. Demikian juga dalam bidang sufisme, pengaruh filsafat Persia dan filsafat India. Pengaruh terbesar adalah pada kepercayaan-kepercayaan Syi'ah ekstrim menyangkut hak ketuhanan untuk memerintah dan hulul-nya Tuhan kedalam tubuh Imam (Richard, dalam al-Ghazali. 2001: 44).
Semasa hidup al-Ghazali ada beberapa kelompok yang mengaku sebagai pemilik kebenaran. Mereka adalah; pertama, filosuf, yang menggali ilmu pengetahuan yang notabene berdasarkan rasional. Kedua kaum fuqoha, yang menekankan hukum lahiriah. Ketiga, golongan sufisme, yang tumbuh berdasarkan ketidak setujuan akan kehidupan para penguasa yang sangat duniawi, juga sebagai anti formalitas agama yang di dengungkan oleh kelompok fuqoha. Pertentangan al-Hallaj dan kaum fuqoha adalah bukti dari kuatnya kesenjangan foqoha dan sufi. Dan keempat, mutakallimun yang membahas ketuhanan dengan pendekatan rasional dan filsafat.
Dari latar belakang ini nampak bahwa al-Ghazali adalah seorang ilmuwan dengan wawasan luas. Ratusan karangannya menunjukkan kecendekiaannya. Namun akhimya, al-Ghazali memilih sufi sebagai jala untuk mencapai kebenaran hakiki. Dengan sufisme pula ia memakai sebagai pisau analisis dalam membedah berbagai permasalahan yang ada. Al-Ghazali dipandang sebagai figur yang pemersatu kaum sufi dan fuqoha. Hal ini terlihat secara jelas dalam karya besarnya Ihya' Ulum al-Diin yang menujukkan bahwa tasawuf bukanlah pemisahan antara syariat dan hakekat. Tasawuf al-Ghazali, menurut Osman Bakar (1997; 195) adalah keseimbangan anatara dimensi eksoteris dan esoteris. Demikian pula kritikan al-Ghazali terhadap filsafat yang melampaui kewenangannya (Leaman, 2002 ;27). Karyanya Tuhaful al-Falasifah dan Maqosid al-Falasifah memuat tentang keberatan al-Gazali pada filosof. Hal ini dilakukan dalam^erangka menjaga akidah umat agar tidak tercampuri apa yang di anggapnya pemikiran asing seperti pemikiran Yunani yang "berbau kafir".
B. Tentang akhlak.
Al-Ghazali memberikan kriteria terhadap akhlak. Yaitu, bahwa akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan penelitian teriebih dahulu. Dengan kedua kriteria tersebut, maka suatu amal itu memiliki korespondensi dengan faktor-faktor yang saling berhubungan yaitu: perbuatan baik dan keji, mampu menghadapi keduanya, mengetahui tentang kedua hal itu, keadaan jiwa yang ia cenderung kepada salah satu dari kebaikan dan bisa cendrung kepada kekejian (al-Ghazali, jilid 2, 2000:599).
Akhlak bukan merupakan "perbuatan", bukan "kekuatan", bukan "ma'rifah" (mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu adalah "hal" keadaan atau kondisi: di mana jiwa mempunyai potensi yang bisa memunculkan dari padanya manahan atau memberi. Jadi akhlak itu adalah ibarat dari " keadaan jiwa dan bentuknya yang bathiniah" (al-Ghazali, jilid 2, 2000:599).
Di satu sisi, pendapat al-Ghazali ini mirip dengan apa yang di kemukakan oleh Ibnu Maskawaih (320-421H/932-1030 M) dalam Tahdzib al akhluk. Tokoh filsafat etika yang hidup lebih dahulu ini menyatakan bahwa akhlak adalah "keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu." la tidak bersifat rasional, atau dorongan nafsu. (Maskawaih, 1985 :56).
C. Pembagian akhlak
Dalam pembagian itu al-Ghazali ( II, 2000: 600) mempunyai 4 kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu kriteria akhlak yang baik dan buruk, yaitu: Kekuatan 'Ilmu, atau hikmah, kekuatan marah, yang terkontrol oleh akal akan menimbulkan sifat syaja'ah, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan keseimbangan (keadilan), (al-Ghazali, jilid 2, 2000: 600). Keempat komponen im merupakan syarat pokok untuk mencapai derajat akhlak yang baik secara mutlak. Semua ini dimiliki secara sempuma oleh Rasulullah. Maka tiap-tiap orang yang dekat dengan empat sifat tersebut, maka ia dekat dengan Rasulullah, berarti ia dekat juga dengan Allah. Keteladanan ini karena Rasulullah 'tiada diulus kecuali uniuk menyempurnakan akhlak' (Ahmad, Hakim dan Baihaqi)
Dengan meletakkan ilmu sebagai kriteria awal tentang baik dan buruknya akhlak, al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan pengetahuan, sebagaimana dilakukan oleh al-Farabi dan Ibnu Maskawaih (Najati, 2002;235). Hal ini terbukti dengan pembahasan awal dalam Ihya' adalah bab tentang keutamaan ilmu dan mengamalkannya. Sekalipun demikain ia akhlak tak ditentukan sepenuhnya oleh ilmu, juga oleh faktor lainnya.
Kriteria yang dipakai al-Ghazali juga telah diperkenalkan oelh Ibnu Maskawaih. Bagian akhlak menurut Ibnu Maskawaih (1985:46-49) adalah; kearifan (yang bersumber dari ilmu), kesederhanaan, berani dan kedermawanan serta keadilan. Semua unsur ini bersifat seimbang (balance/wasath). Dalam perspektif filsafat etika mulai dari Yunani masa Aristoteles hingga modem, keadilan beserta factor lainnya yang menjadi kriteria ini juga dipakai filosof Kohlberg, John Dewey dan Emile Durkheim. Kohlberg (1995:32-35) menyatakan bahwa keadilan ini akan menjadi norma dasar moralitas masyarakat modern yang beradab.
Sementara untuk pembagian akhlak baik dan buruk, al-Ghazali tak berbeda dengan banyak tokoh lainnya. la membagi akhlak menjadi yang baik atau mahmudah dan madzmumah atau buruk (Nata, 1997:103). Dalam Ihya' al-Ghazali (2002; 2) membagi menjadi empat bagian yaitu ibadah, adab, akhlak yang menghancurkan (muhlikat) dan akhlak yang menyelamatkan (munjiyal). Akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'. Sedangkan akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati.
Bila ditinjau pembagian yang merusak dan dan menyelamatkan adalah al-Ghazali meletakkan akhlak dalam perspektif tasawuf yang lebih mendalam. Akhlak ini dalam tasawuf disebut hal atau kondisi batiniah. Akhlak lahiriah seperti dermawan pada fakir miskin tak ada gunanya bila tanpa diringi akhlak batiniah seperti keihklasan.
D. Metode pendidikan akhlak
Menurut al-Ghazali (2003; 72-73)., ada dua cara dalam mendidik akhlak, yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Selain itu juga ditempuh dengan jalan pertama, memohon karunia Illahi dan sempumanya fitrah (kejadian), agar nafsu-syahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu berilmu (a'lim) tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu ini disebut juga dengan ladunniah.
Kedua, akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu dengan membawa diri kepada perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak tersebut. Singkatnya, akhlak berubah dengan pendidikan latihan. (al-Ghazali, 2000;601-602).
E. Pendidikan akhlak menurut al-Ghazali.
Dua sistem pendidikan akhlak menurut pendapat-pendapat al-Ghazali adalah: pendidikan non fonnal dan non formal. "Pendidikan ini berawal dari non formal dalam lingkup keluarga, mulai pemeliharaan dan makanan yang dikonsumsi. Selanjutnya Bila anak telah mulai nampak daya hayalnya untuk membeda-bedakan sesuatu (tamyiz), maka perlu diarahkan kepada hal positif. Al-Ghazali juga menganjurkan metode cerita (hikayaf), dan keteladanan (uswah al hasanah). Anak juga perlu dibiasakan melakukan sesuatu yang baik. Disamping itu pergaulan anakpun perlu diperhatikan, karena pergaulan dan lingkungan itu memiliki andil sangat besar dalam pembentukan keperibadian anak-anak.
Bila sudah mencapai usia sekolah, maka kewajiban orang tua adalah menyekolahkan kesekolah yang baik, dimana ia diajarkan al-Quran, Hadits dan hal hal yang bennanfaat. Anak perlu dijaga agar tidak terperosok kepada yang jelek, dengan pujian dan ganjaran (reward). Jika anak itu melakukan kesalahan, jangan dibukakan di depan umum. Bila terulang lagi, diberi ancaman dan sanksi yang lebih berat dari yang semestinya. Anak juga punya hak istirahat dan bermain, tetapi pennainan adalah yang mendidik, selain sebagai hiburan anak. (al-Ghazali, 2000;624-627).
Pendapat al-Ghazali ini senada dengan pendapat Muhammad Qutb dalam dalam System Pendidikan Islam (1993). Metode ini meliputi keteladanan, nasehat, hukuman, cerita, dan pembiasaan. Bakat anak juga perlu digali dan disalurkan dengan berbagai kegaitan agar waktu waktu kosong menjadi bermanfaat bagi anak. Hal ini adalah pelaksanaan hadist Nabi agar anak dididik memanah, berenang dan menunggang kuda. Sementara pengaruh lingkungan menurut Ustman Najati (2002;35) berpengaruh besar pada anak, sebagaimana sabda Rasulullah; "laki-laki itu tergantung temannya, maka hendaklah kalian melihat kepada siapa ia berteman. " (HR Abu Daud dan Tirmidzi)
Perhatian al-Ghazali terhadap faktor makanan baik orang tua atau anak merupakan hal menarik. Ini menurutnya akan menjadi gen baik dan buruk bagi perkembangan generasi. Demikain pula pendidikan di rumah serta pergaulan. Dalam konteks ini al-Ghazali setuju dengan aliran konvergensi yang menyatakan pandidikan di tentukan oleh titik temu faktor keturunan dan lingkungan (Purwanto, 1990; 14-17). Sementara metode pembiasaan dalam psikologi modern dikenal dengan kondisioning ala Ivan Petrovic Pavlov dan Watson. Dua psikolog yang meneliti pada kebiasaan anjing ini menyatakan semua mahluk hidup berdasarkan kebiasaan. Bila terbiasa baik maka ia akan baik atau demikian juga sebaliknya. Pembiasaan akan menimbulkan sifat refleks yang tanpa pemikiran. (Purwanto, 1990;90, Suiyabrata. 1993:284-287). Dengan demikian gerak refleks ala Pavlov sama dengan haal (kondisi) yang di ungkapkan al-Ghazali.
Sementara untuk pendidikan formal, al-Ghazali mensyaratkan adanya seorang guru atau mursyid yang mempunyai kewajiban antara lain: mencontoh Rasulullah tidak meminta imbalan, bertanggung jawab atas keilmuannya, Hendaklah ia membatasi pelajaran menurut pemahaman mereka. Hendaklah seorang guru ilmu praktis (syar'i) mengamalkan ilmu, yang amal itu dilihat oleh mata dan ilmu dilihat oleh hati, tapi orang yang melihat dengan mata kepala itu lebih banyakdari mereka yang melihat dengan mata hati.(al-Ghazali, 2003; 153-160).
Adapun kewajiban murid adalah: memperioritaskan kebersihan hati, tidak sombong karena ilmunya dan tidak menentang guru, dalam belajar seorang murid janganlah menerjunkan dalam suatu ilmu secara sekaligus, tetapi berdasarkan perioritas. Semua ini diniatkan untuk bertaqarub kepada Allah. Bukan untuk memperoleh kepemimpinan, harta dan pangkat. (al-Ghazali.2000; 101-110). Dengan peraturan pengajar dan pelajar, al-Ghazali membuat suatu sistem yang membentuk satu komunitas pendidikan. Dimana hubungan antara seorang guru dan murid sangat sarat dengan peraturan yang satu dan yang lainnya.
Kewajiban guru dan murid, serta pembagian ilmu yang dilakukan al-Ghazali menurut para tokoh merupakan bukti dari pengetahuan dan pengalamannya sebagi seorang pendidik sewaktu di Nizamiyah Baghdad.
Pengalaman sewaktu berstatus siswa dalam mencari ilmu dan guru yang mengajar di ungkapkan secara detail melebihi pembahasan pakar lainnya.
Namun di satu sisi, pembagian al-Ghazali terhadap ilinu menjadi yang fardhu 'ain dipelajari dan fardhu kifayah, ilmu agama dan ilmu umum mendapatkan kritikan tajam. Menurut Fazlurrahman (dalam Bakar, 1997:247) pembagian ilmu menjadi religius dan intelektual "merupakan pembedaan paling malang yang pernah di buat dalam sejarah intelektual Islam". Memang sarjana tidak menolak ilmu intelektual tetapi kemunduran Islam, salah satu sebabnya adalah "pengabaian ilmu intelektual". Mahdi Ghulsyani (1995:44-45) juga menolak pembagian ilmu al-Ghazali. Karena "klasifikasi ini bisa menyebabkan miskonsepsi bahwa ilmu non agama terpisah dari Islam, dan ini tidak sesuai dengan prinsip universalitas Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam". Demikian juga, Amin Abdullah (2002;31) mengkritik pendapat al-Ghazali tentang kewajiban adanya mursyid (pembimbing moral) bagi seorang yang ingin menempuh pendidikan akhlak dalam kaitannya dengan tasawuf. Pemikiran rasional modem cenderung menolak posisi murid yang menurut al-Ghazali "seperti mayat di tangan orang yang memandikan" atau "ilmu lanpa guru, maka gurunya adalah Syetan ".
F. Pendidikan akhlak al-Ghazali presfektif filsafat Pendidikan
Dalam konteks pemikiran filsafat pendidikan al-Ghazali menganut filsafat teosentris, yang di dalamnya memuat asas teologis, di mana konsep antroposentris merupakan bagian esensial dari konsep teosentris. Sedang ditinjau dari segi zaman al-Ghazali termasuk kelompok Tradisonal yaitu Perenialism—Essentilaism. Hal itu dilihat dari dasar filsafat pemikirannya yaitu al-Quran dan al-sunnah dan atsar para sahabat Nabi, dikatakan essensialis karena pendidikan al-Ghazali adala pendidikan nilai-nilai yang tinggi atau budi pekerti yang luhur hanya saja lebih bersifat sufistik atu antroposentris.
Dalam epistimologi pengetahuan sama dengan teorinya John locke yaitu Progresivisme dalam teori pendidikaan yang terkenal dengan kertas putih "tabularasa" kemudian dalam klasifikasi pengembangan filsafat pendidikan Islam konsep al-Ghazali cenderung lebih dekat kepada Tipologi Tekstual salafi.

Kesimpulan
Akhlak menurut Al-Ghazali adalah sesuatu yang menetap dalam jiwa dan muncul dalam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran terlebih dahulu. Akhlak bukanlah perbuatan, kekuatan, dan ma'rifah. Akhlak adalah "haal" atau kondisi jiwa dan bentuknya bathiniah
Kriteria akhlak yaitu: kekuatan ilmu, marah yang terkontrol oleh akal, kekuatan nafsu syahwat, dan kekuatan keadilan. Dengan meletakkan ilmu sebagai kriteria awal, Al-Ghazali mengkaitkan antara akhlak dan pengetahuan. Hal ini merupakan pengembangan ide Ibnu Maskawaih di era klasik, dan sesuai dengan pendapat kalangan Barat modem seperti Kohlberg, John Dewey dan Emile Durkheim.
Al-Ghazali membagi akhlak menjadi mahmudah-munjiyat (baik dan menyelamatkan) dan madzmumah-muhlikat (buruk dan menghancurkan). Akhlak yang baik adalah taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, keikhlasan, dan kejujuran, tawakkal, cinta, ridha, ingat mati. Sedangkan akhlak yang buruk adalah rakus makan, banyak bicara, dengki, kikir, ambisi dan cinta dunia, sombong, ujub dan takabbur serta riya'.
Metode pendidikan akhlak menurut al-Ghazali ada dua yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan diulang-ulang dan memohon kaninia Ilahi.
Pendidikan akhlak menurut al-Ghazali adalah: pendidikan non formal dan non formal. Pendidikan non formal dalam keluarga. Al-Ghazali menganjurkan metode cerita (hikayat), dan keteladanan (uswah al hasanah). Anak dibiasakan melakukan kebaikan. Pergaulan anak perlu diperhatikan,.
Orang tua wajib menyekolahkan anak ke lembaga pendidikan formal. Diperlukan pujian dan hukuman (reward and punishment). Anak punya hak istirahat dan bermain. Al-Ghazali mensyaratkan adanya seorang guru atau mursyid yang ikhlas, bertanggung jawab, mengamalkan ilmunya. Kewajiban murid adalah: menjaga kebersihan hati, tidak sombong dan tidak menentang guru, dalam belajar diniatkan untuk bertaqarrub kepada Allah.

Daftar Pustaka

Abdullah, Amin.2002. Antara Ghazali dan Kant, (terj.). Bandung: Mizan.
Al-Ghazali, 2000. Ihya Ulumuddin, Qairo, Mesir: Daar al-Taqwa.
_________, tth. Al-Munkid min al-Dhalal. Libanon. Beirut: Maktabah as-Sa'baniyah.
_________, 2003. Bidayah al-Hidayah (terj.). Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Al-Naquib, Al-Alatas, 1990. Konsep Pendidikan Dalam Islam. Bandung: Mizan.
Arifin H.M. 1991. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsini, 1998. Prosedur penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Darojat, Zakiyah. 1995. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: Ruhama.
Ensiklopedi Islam. 1993. Jakarta: Ictiar Baru Van Hove.
Lannggulung. Hasan. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21. Jakarta: Pustaka Husna.
Muhaimin. 2003. Wacana pengembangan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

SUMBER Hamdani Rizal dan Saifuddin Zuhri

Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

Minggu, 15 November 2009

E-LEARNING

E-LEARNING
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Inti proses belajar adalah perubahan pada diri individu dalam aspek pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kebiasaan sebagai produk dan interaksinya dengan lingkungan. Belajar adalah proses membangun pengetahuan melalui transformasi pengalaman. Dengan kata lain suatu proses belajar dapat dikatakan berhasil bila dalam diri individu terbentuk pengetahuan, sikap, keterampilan, atau kebiasaan baru yang secara kualitatif lebih baik dari sebelumnya. Proses belajar dapat terjadi karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungan belajar secara mandiri atau sengaja dirancang. Orang yang belajar mandiri secara individual dikenal sebagai otodidak, sedangkan orang yang belajar karena dirancang dikenal sebagai pembelajaran formal. Proses belajar sebagian besar terjadi karena memang sengaja dirancang. Proses tersebut pada dasarnya merupakan sistem dan prosedur penataan situasi dan lingkungan belajar agar memungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem dan prosedur inilah yang dikenal sebagai proses pembelajaran aktif.
Proses pembelajaran yang baik adalah proses pembelajaran yang memungkinkan para pembelajar aktif melibatkan diri dalam keseluruhan proses baik secara mental maupun secara fisik. Model proses ini dikenal sebagai pembelajaran aktif atau pembelajaran interaktif dengan karakteristiknya sebagai berikut: (1) adanya variasi kegiatan klasikal, kelompok dan perorangan; (2) dosen berperan sebagai fasilitator belajar, nara sumber dan manajer kelas yang demokratis; (3) keterlibatan mental (pikiran, perasaan) siswa tinggi; (4) menerapkan pola komunikasi yang banyak; (4) suasana kelas yang fleksibel, demokratis, menantang dan tetap terkendali oleh tujuan; (6) potensial dapat menghasilkan dampak intruksional dan dampak pengiring lebih efektif; (7) dapat digunakan di dalam atau di luar kelas/ruangan.
Dalam Proses Belajar aktif seharusnya ditunjang juga dengan memperhatikan E-learning ( Pembelajaran dengan Elektronoik), karena dapat membantu jalannya pembelajaran aktif , maka dari situlah kami mengangkat topik pembahasan tentang e-learning dan active learning ( belajar aktif dan didalam penerapannya .
BAB II
PEMBAHASAN MATERI

A. Pengertian E-Learning
Banyak pakar yang menguraikan definisi e-learning dari berbagai sudut pandang. Definisi yang sering digunakan banyak pihak adalah sebagai berikut:
a.E-learning merupakan suatu jenis belajar mengajar yang memungkinkan tersampaikannya bahan ajar ke siswa dengan menggunakan media internet, intranet atau media jaringan komputer lain [Hartley, 2001].
b. E-learning adalah sistem pendidikan yang menggunakan aplikasi elektronik untuk mendukung belajar mengajar dengan media internet, jaringan komputer, maupun komputer standalone [LearnFrame.Com, 2001]
.c. E-learning adalah semua yang mencakup pemanfaatan komputer dalam menunjang peningkatan kualitas pembelajaran, termasuk di dalamnya penggunaan mobile technologies seperti PDA dan MP3 players. Juga penggunaan teaching materials berbasis web dan hypermedia, multimedia CD-ROM atau web sites, forum diskusi, perangkat lunak kolaboratif, e-mail, blogs, wikis, computer aided assessment, animasi pendidkan, simulasi, permainan, perangkat lunak manajemen pembelajaran, electronic voting systems, dan lain-lain. Juga dapat berupa kombinasi dari penggunaan media yang berbeda [Thomas Toth, 2003; Athabasca University, Wikipedia].
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem atau konsep pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar dapat disebut sebagai suatu e-learning. E-learning dalam arti luas bisa mencakup pembelajaran yang dilakukan di media elektronik (internet) baik secara formal maupun informal. E-learning secara formal misalnya adalah pembelajaran dengan kurikulum, silabus, mata pelajaran dan tes yang telah diatur dan disusun berdasarkan jadwal yang telah disepakati pihak-pihak terkait (pengelola e-learning dan pembelajar sendiri). Pembelajaran seperti ini biasanya tingkat interaksinya tinggi dan diwajibkan oleh perusahaan pada karyawannya atau pembelajaran jarak jauh yang dikelola oleh universitas dan perusahaan-perusahaan (biasanya perusahaan konsultan) yang memang bergerak dibidang penyediaan jasa e-learning untuk umum.
E-learning bisa juga dilakukan secara informal dengan interaksi yang lebih sederhana, misalnya melalui sarana mailing list, e-newsletter atau website pribadi, organisasi dan perusahaan yang ingin mensosialisasikan jasa, program, pengetahuan atau keterampilan tertentu pada masyarakat luas (biasanya tanpa memungut biaya).

Kategori: e-Learning
Dari puluhan atau bahkan ratusan definisi yang muncul dapat kita simpulkan bahwa sistem atau konsep pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar dapat disebut sebagai suatu e-Learning.
Keuntungan menggunakan e-learning diantaranya :
• menghemat waktu proses belajar mengajar,
• mengurangi biaya perjalanan,
• menghemat biaya pendidikan secara keseluruhan (infrastruktur, peralatan, buku),
• menjangkau wilayah geografis yang lebih luas,
• melatih pelajar lebih mandiri dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.


Untuk menyampaikan pembelajaran, e-learning selalu diidentikkan dengan penggunaan internet. Namun sebenarnya media penyampaian sangat beragam dari internet, intranet, cd, dvd, mp3, PDA, dan lain-lain. Penggunaan teknologi internet pada e-learning umumnya dengan pertimbangan memiliki jangkauan yang luas. Ada juga beberapa lembaga pendidikan dan perusahaan yang menggunakan jaringan intranet sebagai media e-learning sehingga biaya yang disiapkan relatif lebih murah.




Pengertian Yang Terkait E-LEARNING
Sekilas perlu kita pahami ulang apa e-Learning itu sebenarnya. E-Learning adalah pembelajaran jarak jauh (distance Learning) yang memanfaatkan teknologi komputer, jaringan komputer dan/atau Internet. E-Learning memungkinkan pembelajar untuk belajar melalui komputer di tempat mereka masing-masing tanpa harus secara fisik pergi mengikuti pelajaran/perkuliahan di kelas. E-Learning sering pula dipahami sebagai suatu bentuk pembelajaran berbasis web yang bisa diakses dari intranet di jaringan lokal atau internet. Sebenarnya materi e-Learning tidak harus didistribusikan secara on-line baik melalui jaringan lokal maupun internet, distribusi secara off-line menggunakan media CD/DVD pun termasuk pola e-Learning. Dalam hal ini aplikasi dan materi belajar dikembangkan sesuai kebutuhan dan didistribusikan melalui media CD/DVD, selanjutnya pembelajar dapat memanfatkan CD/DVD tersebut dan belajar di tempat di mana dia berada.
Ada beberapa pengertian berkaitan dengan e-Learning sebagai berikut :
• Pembelajaran jarak jauh.
E-Learning memungkinkan pembelajar untuk menimba ilmu tanpa harus secara fisik menghadiri kelas. Pembelajar bisa berada di Semarang, sementara “instruktur” dan pelajaran yang diikuti berada di tempat lain, di kota lain bahkan di negara lain. Interaksi bisa dijalankan secara on-line dan real-time ataupun secara off-line atau archieved.
Pembelajar belajar dari komputer di kantor ataupun di rumah dengan memanfaatkan koneksi jaringan lokal ataupun jaringan Internet ataupun menggunakan media CD/DVD yang telah disiapkan. Materi belajar dikelola oleh sebuah pusat penyedia materi di kampus/universitas, atau perusahaan penyedia content tertentu. Pembelajar bisa mengatur sendiri waktu belajar, dan tempat dari mana ia mengakses pelajaran.



• Pembelajaran dengan perangkat komputer
E-Learning disampaikan dengan memanfaatkan perangkat komputer. Pada umumnya perangkat dilengkapi perangkat multimedia, dengan cd drive dan koneksi Internet ataupun Intranet lokal. Dengan memiliki komputer yang terkoneksi dengan intranet ataupun Internet, pembelajar dapat berpartisipasi dalam e-Learning. Jumlah pembelajar yang bisa ikut berpartisipasi tidak dibatasi dengan kapasitas kelas. Materi pelajaran dapat diketengahkan dengan kualitas yang lebih standar dibandingkan kelas konvensional yang tergantung pada kondisi dari pengajar.
• Pembelajaran formal vs. informal
E-Learning bisa mencakup pembelajaran secara formal maupun informal. E-Learning secara formal, misalnya adalah pembelajaran dengan kurikulum, silabus, mata pelajaran dan tes yang telah diatur dan disusun berdasarkan jadwal yang telah disepakati pihak-pihak terkait (pengelola e-Learning dan pembelajar sendiri). Pembelajaran seperti ini biasanya tingkat interaksinya tinggi dan diwajibkan oleh perusahaan pada karyawannya, atau pembelajaran jarak jauh yang dikelola oleh universitas dan perusahaan-perusahaan (biasanya perusahan konsultan) yang memang bergerak di bidang penyediaan jasa e-Learning untuk umum. E-Learning bisa juga dilakukan secara informal dengan interaksi yang lebih sederhana, misalnya melalui sarana mailing list, e-newsletter atau website pribadi, organisasi dan perusahaan yang ingin mensosialisasikan jasa, program, pengetahuan atau keterampilan tertentu pada masyarakat luas (biasanya tanpa memungut biaya).






• Pembelajaran yang ditunjang oleh para ahli di bidang masing-masing.
Walaupun sepertinya e-Learning diberikan hanya melalui perangkat komputer, e-Learning ternyata disiapkan, ditunjang, dikelola oleh tim yang terdiri dari para ahli di bidang masing-masing, yaitu:
1. Subject Matter Expert (SME) atau nara sumber dari pelatihan yang disampaikan
2. Instructional Designer (ID), bertugas untuk secara sistematis mendesain materi dari SME menjadi materi e-Learning dengan memasukkan unsur metode pengajaran agar materi menjadi lebih interaktif, lebih mudah dan lebih menarik untuk dipelajari
3. Graphic Designer (GD), mengubah materi text menjadi bentuk grafis dengan gambar, warna, dan layout yang enak dipandang, efektif dan menarik untuk dipelajari
4. Ahli bidang Learning Management System (LMS). Mengelola sistem di website yang mengatur lalu lintas interaksi antara instruktur dengan siswa, antarsiswa dengan siswa lainnya.
Di sini, pembelajar bisa melihat modul-modul yang ditawarkan, bisa mengambil tugas-tugas dan test-test yang harus dikerjakan, serta melihat jadwal diskusi secara maya dengan instruktur, nara sumber lain, dan pembelajar lain. Melalui LMS ini, siswa juga bisa melihat nilai tugas dan test serta peringkatnya berdasarkan nilai (tugas ataupun test) yang diperoleh.
E-Learning tidak diberikan semata-mata oleh mesin, tetapi seperti juga pembelajaran secara konvensional di kelas, e-Learning ditunjang oleh para ahli di berbagai bidang terkait.




B. Pengertian Active Learning ( Belajar aktif )
Seperti banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan belajar atau mengajar, belajar aktif tidak mudah didefinisikan secara sederhana. Beberapa kutipan definisi ini menawarkan beberapa gambaran apa yang dipikirkan orang mengenai belajar aktif.
Glasgow 1996 (Doing Science)
Pembelajar aktif berusaha sungguh sungguh untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar pada belajarnya sendiri. Mereka mengambil peran yang lebih dinamis dalam menentukan bagaimana dan apa yang mereka akan ketahui, apa yang seharusnya mereka bisa lakukan, dan bagaimana mereka akan melakukannya.Peran mereka berkembang lebih jauh ke pengelolaan pendidikan diri, dan memotivasi diri menjadi kekuatan lebih besar di belakang belajar.
Modell and Michael 1993 (Promoting Active Learning in Life Science Classrooms)
Kita mendefinisikan lingkungan belajar aktif adalan suatu lingkungan di mana siswa didorong secara individual untuk terlibat di dalam proses membangun model mental mereka sendiri dari informasi yang mereka peroleh.Sebagai tambahan, sebagai bagian dari prosesbelajar aktif, siswa harus selalu mentes validitas dari model yang sedang dibangun.
UC Davis TAC Handbook:
Belajar aktif adalah suatu pendekatan belajar yang melibatkan siswa sebagai “gurunya sendiri” . Perlu diingat siswa aktif adalah pendekatan, bukan metode.




Apa itu Pendekatan Belajar Aktif ?
Belajar Aktif adalah cara pandang yang menganggap belajar sebagai kegiatan membangun makna/pengertian terhadap pengalaman dan informasi, yang dilakukan oleh si pembelajar, bukan oleh si pengajar, serta menganggap mengajar sebagai kegiatan menciptakan suasana yang mengembangkan inisiatif dan tanggung jawab belajar si pembelajar sehingga berkeinginan terus untuk belajar selama hidupnya dan tidak tergantung pada guru/orang lain bila mereka mempelajari hal-hal baru.
Pandangan guru seharusnya;Mengangap guru lebih sebagai tukang kebun yang merawat dan memelihara tanaman dari pada sebagai penuang air yang menuangkan air ke dalam gelas kosong.Menganggap siswa lebih sebagai tanaman yang memiliki kemampuan untuk tumbuh sendiri dari pada sebagai gelas kosong yang hanya dapat penuh bila ada yang mengisi.
Mengapa Perlu Belajar Aktif ?
Paling sedikit ada tiga alasan mengapa belajar aktif perlu diterapkan:
1. Karakteristik Siswa.
- Rasa ingin tahu yang merupakan modal dasar bagi berkembangnya sikap kritis
- Imajinasi yang merupakan modal berfikir dan berperilaku kreatif
2. Hakikat belajar
Belajar adalah proses menemukan dan membangun makna/pengertian oleh si pembelajar terhadap informasi dan pengalaman yang disaring melalui persepsi, pikiran, dan perasaan si pembelajar. Belajar bukanlah proses menyerap pengetahuan yang sudah jadi bentukan guru. Pengetahuan dibangun sendiri oleh si pembelajar.
3. Karakteristik lulusan yang dikehendaki.
Agar mampu bertahan dan berhasil dalam hidup, lulusan yang diinginkan adalah generasi yang:
- Peka (berarti berpikir tajam, kritis, dan tanggap terhadap pikiran dan perasaan orang lain)
- Mandiri (berarti berani dan mampu bertindak tanpa selalu tergantung pada orang lain), dan
- Bertanggung jawab berarti siap menerima akibat dari keputusan dan tindakan yang diambil
Bagaimana Suasana Belajar Aktif ?

Suasana belajar aktif adalah suasana belajar mengajar yang membuat siswa melakukan:

1. Pengalaman
Anak akan belajar banyak melalui berbuat. Pengalaman langsung mengaktifkan lebih banyak indera daripada hanya melalui mendengarkan.
Mengenal benda terapung dan tenggelam akan lebih mantap bila mencoba sendiri secara langsung daripada hanya mendengarkan penjelasan guru. Demikian pula untuk hal lainnya.
2. Interaksi
Belajar akan terjadi dan meningkat kualitasnya bila terjadi suasana interaksi dengan orang lain. Interaksi dapat berupa diskusi, saling bertanya dan mempertanyakan, saling menjelaskan, dll. Pada saat orang lain mempertanyakan pendapat kita atau apa yang kita kerjakan maka kita terpacu untuk berpikir menguraikan lebih jelas lagi sehingga kualitas pendapat itu lebih baik.
3. Komunikasi
Pengungkapan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tulisan, merupakan kebutuhan setiap manusia dalam rangka mengungkapkan dirinyauntuk mencapai kepuasan. Pengungkapan pikiran, baik dalam rangka mengemukakan gagasan sendiri atau menilai gagasan orang lain, akan memantapkan pemahaman seseorang tentang apa yang sedang dipikirkan atau dipelajari.
4. Refleksi
Bila seseorang mengungkapkan gagasannya kepada orang lain dan mendapat tanggapan maka orang itu akan merenungkan kembali (refleksi) gagasannya, kemudian melakukan perbaikan sehingga memiliki gagasan yang lebih mantap. Refleksi dapat terjadi sebagai akibat dari interaksi dan komunikasi. Umpan balik dari guru atau siswa lain terhadap kerja seorang siswa, yang berupa pertamyaan menantang (membua siswa berpikir) dapat merupakan pemicu bagi siswa untuk melakukan refleksi tentang apa yang sedang dipikirkan atau dipelajar
Dalam penerapan metode belajar aktif yang benar, siswa dan guru sama-sama aktifnya
Metode belajar aktif atau sekarang lumrah disebut sebagai metode PAKEM (pembelajaran kreatif, aktif dan menyenangkan) saat ini mulai dirasakan pentingnya dikalangan praktisi pendidik. Dikarenakan metode ini agaknya menjadi jawaban bagi suasana kelas yang kaku, membosankan, menakutkan, menjadi beban dan tidak membuat betah dan tidak menumbuhkan perasaan senang belajar bagi anak didik. Alih-alih membuat anak mau menjadi pembelajar sepanjang hayat yang terjadi malah kelas dan sekolah menjadi momok yang menakutkan bagi siswa.
Cara belajar siswa aktif adalah merupakan tantangan selanjutnya bagi para pendidik. Sebab ruh dari KTSP yang diberlakukan sekarang ini adalah pembelajaran aktif. Dalam pembelajaran aktif baik guru dan siswa sama-sama menjadi mengambil peran yang penting.
Guru sebagai pihak yang;
• merencanakan dan mendesain tahap skenario pembelajaran yang akan dilaksanakan di dalam kelas.
• membuat strategi pembelajaran apa yang ingin dipakai (strategi yang umum dipakai adalah belajar dengan bekerja sama)
• membayangkan interaksi apa yang mungkin akan terjadi antara guru dan siswa selama pembelajaran berlangsung.
• Mencari keunikan siswa, dalam hal ini berusaha mencari sisi cerdas dan modalitas belajar siswa dengan demikian sisi kuat dan sisi lemah siswa menjadi perhatian yang setara dan seimbang
• Menilai siswa dengan cara yang tranparan dan adil dan harus merupakan penilaian kinerja serta proses dalam bentuk kognitif, afektif, dan skill (biasa disebut psikomotorik)
• Melakukan macam-macam penilaian misalnya tes tertulis, performa (penampilan saat presentasi, debat dll) dan penugasan atau proyek
• Membuat portfolio pekerjaan siswa.

Siswa menjadi pihak yang;
• menggunakan kemampuan bertanya dan berpikir
• melakukan riset sederhana
• mempelajari ide-ide serta konsep-konsep baru dan menantang.
• memecahkan masalah (problem solving),
• belajar mengatur waktu dengan baik,
• melakukan kegiatan pembelajaran secara sendiri atau berkelompok (belajar menerima pendapat orang lain, siswa belajar menjadi team player)
• mengaplikasikan hasil pembelajaran lewat tindakan atau action.
• Melakukan interaksi sosial (melakukan wawancara, survey, terjun ke lapangan, mendengarkan guest speaker)
• Banyak kegiatan yang dilakukan dengan berkelompok.












Strategi Pembelajaran Aktif
Sebagaimana ditegaskan oleh para teoritisi belajar seperti Crow and Crow (1963), Gagne (1965), dan Hilgard and Bower (1966) dalam Knowles (1990), inti proses belajar adalah perubahan pada diri individu dalam aspek-aspek pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kebiasaan sebagai produk dan interaksinya dengan lingkungannya. Atau bila kita ambil Kolb (1986), mengatakan bahwa: “belajar adalah proses membangun pengetahuan melalui transformasi pengalaman”. Dengan kata lain suatu proses belajar dapat dikatakan berhasil bila dalam diri individu terbentuk pengetahuan, sikap, keterampilan, atau kebiasaan baru yang secara kualitatif lebih baik dari sebelumnya. Proses belajar dapat terjadi karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungan belajar secara mandiri atau sengaja dirancang.
Jenis model-model pembelajaran interaktif Prof. Dr. Atwi Suparman, M.Sc. (1997:12) menjelaskan antara lain:
1) Model berbagai informasi yang tujuannya menitikberatkan pada proses komunikasi dan diskusi melalui interaksi argumentatif yang sarat penalaran. Termasuk ke dalam rumpun ini Model Orientasi, Model Sidang Umum, Model Seminar, Model Konferensi Kerja, Model Simposium, Model forum, dan Model Panel.
2) Model Belajar melalui pengalaman yang tujuannya menitikberatkan pada proses perlibatan dalam situasi yang memberi implikasi perubahan perilaku yang sarat nilai dan sikap sosial. Termasuk ke dalam rumpun ini Model Simulasi, Model Bermain Peran, Model Sajian Situasi, Model Kelompok Aplikasi, Model Sajian Konflik, Model Sindikat, dan Model Kelompok “T”.
3) Model pemecahan masalah yang tujuannya menitikberatkan pada proses pengkajian dan pemecahan masalah melalui interaksi dialogis dalam situasi yang sarat penalaran induktif. Termasuk ke dalam rumpun ini Model Curah Pendapat, Model Riuh Bicara, Model Diskusi Bebas, Model Kelompok Okupasi, Model Kelompok Silang, Model Tutorial, Model Studi Kasus, dan Model Lokakarya.
Model kelompok orientasi Situmorang (1997:3) mengatakan bahwa: ”suatu model pembelajaran melalui pengenalan program dan lingkungan belajar. Dalam pembelajaran tersebut dibentuk kelompok siswa. Yang dimaksud program meliputi tujuan dan strategi pencapaiannya, sedangkan linmgkungan belajar meliputi sarana belajar, narasumber, sarana pendukung, dan termasuk di dalamnya tata tertib yang harus dipatuhi”. Ada tiga keterampilan dasar mengajar yang dibutuhkan pengajar yaitu keterampilan menjelaskan, keterampilan bertanya dan keterampilan mengolah kelompok kecil.
Model Sidang Umum Winataputra (1997:13) menjelaskan bahwa: “istilah teknis pembelajaran yang digunakan untuk menunjukkan suatu bentuk prosedural pengorganisasian interaksi belajar-mengajar yang melibatkan pengajar (guru, pelatih, tutor, dosen, instruktur, widyaiswara) dan peserta didik (petatar, mahasiswa, siswa)”. Model ini merupakan bentuk simulatif atau tiruan sidang umum atau dapat pula disebut Sidang Umum berskala pedagogis kelas. Model ini bertujuan agar peserta didik dapat menyajikan informasi, memimpin pertemuan, membahas masalah, dan merumuskan kesimpulan atau mengambil keputusan dalam pertemuan formal. Beberapa keterampilan dasar mengajar yang perlu dikuasi yaitu keterampilan menjelaskan, keterampilan bertanya, keterampilan mengadakan variasi, keterampilan mengelola kelas dan ketarampilan memberikan penguatan.

Model Seminar Irawan (1997:25) menjelaskan bahwa: “suatu kegiatan belajar mengajar yang melibatkan sekelompok orang yang mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang mendalam, atau dianggap mempunyai pengalaman dan pengetahuan mendalam tentang suatu hal, dan membahas hal tersebut bersama-sama dengan tujuan agar setiap peserta dapat saling belajar dan berbagi pengalaman dengan rekannya”.
Model Konferensi Kerja Tubbs (dalam Wardiani, 1997:37) mengartikan: “sebagai rangkaian pertemuan yang membahas topik yang menjadi kepedulian berbagai orang atau kelompok peserta konferensi. Misalnya, wakil-wakil dari berbagai perguruan tinggi mengadakan konferensi untuk membahas kurikulum, pengabdian pada masyarakat, dan lain-lain”.
Model Simposium Winataputra (1997:49) mengatakan: “merupakan bentuk pertemuan ilmiah yang resmi”. Dalam pertemuan ini para pembicara menyampaikan pandangan mengenai suatu topik dari berbagai visi. Dengan cara ini suatu topik permasalahan dibahas secara meluas sehingga masalah itu terurai secara interdisipliner. Misalnya masalah pendidikan dibahas dari visi sosial, ekonomi, psikologi, agama, dan teknologi. Model simposium merupakan kerangka pembelajaran yang memerankan peserta didik sebagai pakar dalam berbagai bidang untuk berlatih memecahkan suatu topik problematik. Peserta didik dikondisikan untuk mencoba berbagai ide mengenai sesuatu dari visi masing-masing.
Model Forum dipakai sebagai istilah teknis pembelajaran untuk menunjukkan suatu bentuk prosedural pengorganisasian interaksi belajar mengajar klasikal yang melibatkan pengajar dan peserta didik dalam konteks pembahasan masalah. Model ini dapat bersifat bentuk nyata (real) bila masalah yang dibahas memang benar-benar merupakan masalah yang dihadapi peserta didik.
Diskusi Panel merupakan kerangka konseptual yang digunakan oleh pengajar dalam mengorganisasikan interaksi belajar mengajar dalam konteks pembahasan masalah kontroversial di lingkungannya. Model ini dapat dilakukan dalam bentuk real atau dalam bentuk simulatif, tergantung dari hakekat masalah yang dibahas. Dengan menggunakan model ini, peserta didik akan dapat menyampaikan informasi atau pendapat mengenai permasalahan yang kontroversial. Proses ini akan mengkondisikan peserta didik untuk berpikir secara kritis dan bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang berbeda.
Model Simulasi diartikan sebagai kegiatan pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk meniru satu kegiatan atau pekerjaan yang dituntut dalam kehidupan sehari-hari, atau yang berkaitan dengan tugas yang akan menjadi tanggung jawabnya jika kelak siswa sudah bekerja. Misalnya, simulasi mengajar, simulasi menolong orang sakit, simulasi mengatasi perampokan, atau simulasi pengaturan ruang. Dengan demikian, simulasi sebagai salah satu model pembelajaran merupakan peniruan pekerjaan yang menuntut kemampuan tertentu dari siswa sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Simulasi bertujuan untuk memberi kesempatan berlatih menguasai keterampilan tertentu melalui situasi buatan sehingga siswa terbebas dari resiko pekerjaan berbahaya.
Bermain peran digunakan dalam pembelajaran dengan tujuan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih menumbuhkan kesadaran dan kepekaan sosial serta sikap positif, di samping menemukan alternatif pemecahan masalah. Dengan perkataan lain, melalui bermain peran, siswa diharapkan mampu memahami dan menghayati berbagai masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang merupakan tekanan utama dalam bermain peran yang membedakannya dari simulasi. Simulasi lebih menekankan pada pembentukan keterampilan, sedangkan pembentukan sikap dan nilai merupakan tujuan tambahan.
Model Sajian Situasi merupakan kerangka prosedural pembelajaran yang menggunakan simulasi sebagai pemicu (trigger) belajar. Materi yang disajikan bukanlah konsep yang abstrak secara verbal tetapi situasi yang dibuat mencerminkan suatu konsep. Peserta didik dikondisikan untuk dapat menangkap konsep itu melalui proses analisis situasi yang disimulasikan.
Model Kelompok Aplikasi adalah satu model pembelajaran keterampilan melalui penerapan dalam situasi nyata. Istilah aplikasi sering digunakan untuk menggambarkan wujud nyata dari suatu konsep, prinsip, maupun prosedur. Misalnya sering kita mendengar orang mengatakan itu kan hanya konsep, tapi nyatanya bagaimana?
Model Kelompok Sindikat merupakan istilah teknis pembelajaran yang digunakan untuk pengorganisasian interaksi belajar mengajar yang melibatkan pengajar, peserta didik, dan lingkungan belajar. Tujuannya adalah untuk melatih keterampilan peserta didik agar dapat menggali/mencari informasi, mendiskusikannya dengan sesama teman, meneliti kebenaran informasi, menyajikan informasi dalam laporan ilmiah, dan mengembangkan sikap bertanggung jawab atas proses belajarnya sendiri.
Kelompok “T” merupakan pendekatan yang dipinjam dari dunia psikologi dan manajemen. Melalui model ini, sekelompok orang ditempatkan dalam suatu situasi tertentu, sedemikian rupa, sehingga setiap orang dalam kelompok itu merasakan adanya suatu kesatuan yang utuh dengan anggota lain dalam kelompok. Dalam dunia manajemen, strategi ini sering dilakukan di berbagai organisasi karena dipercaya bahwa tujuan organisasi tidak bisa dicapai secara optimal apabila personal dalam organisasi tidak memiliki sinergi tim, tidak memiliki rasa kesatuan dengan rekan-rekan yang lain. Dalam dunia pendidikan dan pelatihan, model kelompok “T” digunakan dengan alasan relatif sama.
Model Curah Pendapat (brainstorming) Suciati (1977:153) menjelaskan bahwa: “ pada dasarnya merupakan model untuk mencari pemecahan masalah (problem solving), meskipun dapat juga digunakan untuk tujuan penyusunan program, manual kerja, dan sebagainya”. Model ini terdiri dua tahap, tahap identifikasi gagasan (curah pendapat) dan tahap evaluasi gagasan.
Model Riuh Bicara Wardani (1977:161) menjelaskan bahwa: “terjemahan dari Buzz Group yang secara harfiah berarti “kumpulan lebah” yang berdengung”. Dengungan ini merupakan ciri khas dari buzz group. Di dalam pembelajaran, Kelompok Riuh Bicara adalah kelompok kecil yang terdiri dari 2-5 orang yang membahas satu isu atau masalah dalam waktu yang singkat.
Model Kelompok Diskusi Bebas adalah model diskusi kelompok yang memberi kesempatan kepada siswa untuk menentukan topik dan arah diskusi. Dengan demikian, kelompok bebas memilih topik bebas yang akan didiskusikan serta cara dan arah (tujuan) yang ingin dicapai dalam diskusi. Bahkan siswa dapat menentukan dengan siapa dia ingin berkelompok. Tujuan utama yang ingin dicapai melalui model ini agar siswa mampu mengembangkan nilai dan sikap melalui diskusi ide-ide baru. Di samping itu, pengembangan melalui diskusi bebas oleh mahasiswa juga diharapkan mampu mengembangkan ide-ide baru yang mungkin belum pernah mendapat kesempatan untuk diungkapkan.
Model Kelompok Okupasi Situmorang (1997:183) menjelaskan bahwa: “satu model belajar mengajar yang menggunakan pendekatan proses berbagi pengalaman dalam bidang pekerjaan yang sama”. Mungkin kita yang memiliki profesi dan bidang pekerjaan yang sama pernah berkumpul untuk memecahkan satu masalah tertentu; kemudian setiap orang diminta mengutarakan pengalamannya yang berkisar dengan masalah tersebut. Proses berbagi pengalaman seperti inilah yang disebut dengan Model Kelompok Okupasi.
Model Diskusi Kelompok Silang pada hakekatnya adalah diskusi secara umum. Diskusi adalah suatu kegiatan yang dihadiri dua orang atau lebih untuk berbagi ide dan pengalaman serta memperluas pengetahuan. Misalnya beberapa anggota kelompok diskusi cenderung diam dan hanya menjadi pendengar. Di sisi lain, satu dua anggota lainnya cenderung mendominasi seluruh pembahasan. Jelas keadaan ini tidak sehat (terutama bila diskusi ini dipakai dalam konteks belajar mengajar). Model ini diperkenalkan untuk menutupi beberapa kelemahan di atas.
Model Tutorial Winataputra (dalam Suparman, 1997:205) mengatakan: “bahwa tutorial atau “tutoring” merupakan istilah teknis pembelajaran yang diartikan sebagai bimbingan dan bantuan belajar”. Tutorial dapat diberikan oleh pengajar atau sesama peserta didik (peer tutorial) atau orang lain sebagai tamu (guest tutorial) atau peserta didik yang lebih tinggi (cross age tutorial).
Model Studi Kasus sangat produktif digunakan untuk mengembangkan kemampuan/keterampilan memecahkan masalah. Model atau pendekatan ini sangat sering digunakan dalam pendidikan dan pelatihan, dalam bentuk yang paling sederhana sampai yang paling kompleks. Studi kasus merupakan satu bentuk simulasi untuk mempelajari kasus nyata atau kasus sekarang.
Model Lokakarya (workshop/bengkel kerja) adalah wahana atau forum sekumpulan orang bekerja bersama-sama untuk menghasilkan suatu karya. Apa yang dihasilkan dalam suatu lokakarya adalah sesuatu yang nyata (konkret), dapat diamati (observable), real (tangible). Karena itu, orientasi lokakarya adalah pada praktik, dan bukan pembahasan teoritis.









BAB III
TINJAUAN MATERI

A. PENERAPAN E-LEARNING DI INDONESIA
Di Era Globalisasi ini Internet merupakan media yang sangat cepat dalam perkembangannya. Semua Informasi tersedia di Internet dan dapat diakses oleh siapa saja dengan mudah, fleksibel ,cepat dan akurat. Hal inilah yang melandasi adanya ide untuk memanfaatkan Internet sebagai media pembelajaran dalam rangka memajukan pendidikan di Indonesia.
Istilah E–Learning merupakan gabungan dari dua kata yaitu E yang merupakan singkatan dari Electronic (Elektronik) dan Learning (Belajar). Jadi E–Learning adalah Belajar dengan menggunakan bantuan alat Elektronik. Lebih jelasnya E-Learning adalah suatu proses belajar mengajar antara pengajar dengan muridnya tanpa harus bertatap muka satu sama lain. Hal itu dikarenakan bantuan alat elektronik (tepatnya PC) yang terkoneksi dengan Internet sehingga siswa dapat belajar di manapun dan kapanpun tanpa harus datang ke kampus atau ke sekolah.
Saat ini penerapan E-Learning di Indonesia kurang bagus. Hal itu karena besarnya biaya yang dibutuhkan dalam pengaplikasian E-Learning. Tidak semua perguruan tinggi menggunakan E-Learning dalam proses pembelajarannnya. Hanya perguruan tinggi yang besar saja (mampu dalam hal keuangan) yang mengaplikasikan E-Learning dalam penyampaian bahan ajarnya, itupun tidak semua perguruan tinggi mengaplikasikannya.
Beberapa perguruan tinggi di Indonesia yang mengaplikasikan E-Learning diantaranya adalah UNP (Universitas Negeri Padang), UGM (Universitas Gadjah Mada) dan ITB (Institut Teknologi Bogor). Dari ketiga perguruan tinggi diatas telah diketahui bahwa ketiga perguruan tinggi tersebut memiliki dana yang cukup untuk membangun jaringan E-Learning sehingga bisa mengaplikasikan E-Learning dalam proses pembelajarannya.


Antusias pelajar / mahasiswa terhadap penerapan E-Learning dalam proses pembelajaran merupakan kendala tersendiri dalam pengembangan aplikasi E-Learning di Indonesia. Hal itu juga dilandasi oleh beberapa faktor, diantaranya banyak pelajar yang tidak mau tahu dengan perkenbangan Internet saai ini, mahalnya biaya penggunaan Internet bagi ukuran kantong pelajar, dan masih banyak faktor lain yang melandasinya.
Penerapan E-Learning di Indonesia akan berjalan dengan baik jika faktor yang menghambatnya dapat teratasi. Dari pihak universitas harus berusaha bagaimana caranya dapat membangun jaringan E-Learning dan menarik minat mahasiswa untuk menggunakannya dengan cara menyediakan fasilitas untuk penggunaan E-Learning. Dari pihak mahasiswa sendiri harus lebih berfikir lagi untuk tidak menggunakan E-Learning karena hal itu akan sangat merugikan diri sendiri.
Peran Komputer bagi Pendidikan Anak
Pada awalnya komputer dititikberatkan pada proses pengolahan data, tetapi karena teknologi yang sangat pesat, saat ini teknologi komputer sudah menjadi sarana informasi dan pendidikan khususnya teknologi internet. Dalam hal pendidikan, komputer dapat dipergunakan sebagai alat bantu (media) dalam proses belajar mengajar baik untuk guru maupun siswa yang mempunyai fungsi sebagai Media tutorial, alat peraga dan juga alat uji dimana tiap fungsi tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Sebagai media tutorial, komputer memiliki keunggulan dalam hal interaksi, menumbuhkan minat belajar mandiri serta dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa/anak. Tetapi interaksi komputer dengan manusia belum dapat menggantikan interaksi manusia dengan manusia, selain itu mempunyai kelemahan lain yaitu kemauan belajar mandiri yang masih rendah. Komputer sebagai alat uji memiliki keunggulan dalam keobyektifan, ketepatan dan kecepatan dalam penghitungan tetapi masih belum dapat menilai soal-soal essai, pendapat dan hal yang terkait dengan moral dan etika. Yang terakhir, sebagai media alat peraga, komputer mempunyai kelebihan dapat memperagakan percobaan tanpa adanya resiko, tetapi membutuhkan waktu dalam pengembangannya.
Sebelum memperkenalkan komputer kepada anak, orangtua maupun guru seharusnya dapat memahami perkembangan pemahaman anak, dimana pada usia 0 -2 tahun anak mendapatkan pemahamannya dari penginderaannya. Kemudian usia 2 - 7 tahun anak mulai belajar menggunakan bahasa, angka dan simbol-simbol tertentu. Pada usia 7 - 12 tahun anak mulai dapat berpikir logis, terutama yang berhubungan dengan obyek yang tampak langsung olehnya.
Yang saat ini perlu menjadi perhatian bagi orangtua maupun guru adalah bagaimana cara memperkenalkan komputer kepada anak. Hal yang perlu dicoba adalah dengan program-program aplikasi (software) yang bersifat “Edutainment” yaitu perpaduan antara education (pendidikan) dan entertainment (hiburan). Selain itu program (software) aplikasi “Edutainment” tersebut mempunyai kemampuan menumbuhkembangkan kreatifitas dan imajinasi anak serta melatih saraf motorik anak. Contohnya program permainan kombinasi benda, menyusun benda atau gambar (Puzzle) serta program berhitung dan software-software lain yang didukung perangkat multimedia.
Selain program aplikasi (software), dunia internet semakin berarti bagi anak-anak. Internet memungkinkan anak mengambil dan mengolah ilmu pengetahuan ataupun informasi dari situs-situs yang dikunjunginya tanpa adanya batasan jarak dan waktu. Di samping itu masih ada manfaat lain yang didapat dari internet, misalnya surat menyurat (E-mail), berbincang (chatting), mengambil dan menyimpan informasi (download).
Untuk perkembangan pendidikan selanjutnya teknologi “Teleconference” (Konferensi interaktif secara on line dari jarak jauh) dirasakan sudah pantas di coba dan dikembangkan, karena dapat menghemat waktu, tenaga pengajar, kapasitas ruang belajar serta tidak mengenal letak geograf




B. Penerapan Metode Belajar Aktif dalam Pembelajaran Berbasis Proyek
Coba anda bayangkan situasi kelas dibawah ini :
Siswa di kelas lima sedang belajar mengenai konsep mesin yang sederhana, mereka belajar konsep kekuatan, gerak dan bekerja mengaanalisa sebuah mesin yang sederhana. Dari mesin yang rumit mereka memepelajari kaidah mesin yang paling prinsip. Siswa mengoleksi, mengatur, menghadirkan kembali data-data menggunakan program excel. Saat merancang mesin sederhana mereka berperan sebagai perancang sekaligus mempegunakan prinsip perencanaan, perakitan, uji coba sebelum mesin sederhana buatan mereka diluncurkan didepan teman-teman kelas mereka.
Apabila ada pertanyaan mengenai ‘metode apa yang paling efektif untuk mengajar?’ jawabannya bergantung pada tujuan pembelajaran, isi pembelajaran, dan guru yang akan menggunakannya. Tapi ada jawaban lain yang lebih baik dari itu semua yaitu ’siswa mengajarkan siswa lainnya’ dikutip dari Wilbert J. McKeachie, pengarang buku Teaching tips: Strategies, research and theory for college and university teachers, Houghton-Mifflin (1998)
Illustrasi di atas serta kutipan dari buku merupakan gambaran dari dua metode mengenai pembelajaran yang pertama adalah ilustrasi dari pembelajaran dengan berbasis proyek sedangkan yang kedua adalah gambaran yang sederhana dan singkat mengenai pembelajaran aktif.
Pembelajaran berbasis proyek dan pembelajaran aktif,kedua-duanya saling berkaitan. Pembelajaran aktif merupakan ruh dari pembelajaran berbasis proyek. Istilah yang sekarang ada dan memiliki esensi yang sama dengan belajar aktif adalah PAKEM atau pembelajaran aktif, efektif, dan menyenangkan. Istilah ini ada dalam kerangkan peningkatan mutu pendidikan manajemen berbasis sekolah (MBS). PAKEM adalah dua pilar dari empat pilar MBS. Dua pilar lainnya adalah manajemen yang transparan, dan keterlibatan masyarakat pendidikan.


Sedangkan pembelajaran berbasis proyek adalah proyek perseorangan atau grup dan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu, menghasilkan sebuah produk, yang hasilnya kemudian akan ditampilkan atau dipresentasikan. Saat pengerjaan kelas menggunakan berbagai macam bahan-bahan, dengan pendekatan belajar aktif atau berpusat pada siswa
Menggunakan: kontruktivis, problem solving, inquiry, riset, integrated studies, pengetahuan dan ketrampilan, evaluasi, refleksi, dll
Dua metode diatas mempertimbangkan aspek
a. Gaya belajar siswa
b. Taksonomi pembelajaran
c. Kecerdasan majemuk












BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
E-learning merupakan singkatan dari Elektronic Learning, merupakan cara baru dalam proses belajar mengajar yang menggunakan media elektronik khususnya internet sebagai sistem pembelajarannya. E-learning merupakan dasar dan konsekuensi logis dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Belajar Aktif adalah cara pandang yang menganggap belajar sebagai kegiatan membangun makna/pengertian terhadap pengalaman dan informasi, yang dilakukan oleh si pembelajar, bukan oleh si pengajar, serta menganggap mengajar sebagai kegiatan menciptakan suasana yang mengembangkan inisiatif dan tanggung jawab belajar si pembelajar sehingga berkeinginan terus untuk belajar selama hidupnya dan tidak tergantung pada guru/orang lain bila mereka mempelajari hal-hal baru.
Strategi pembelajaran aktif mengajak siswa didik untuk belajar lebih aktif. Ketika siswa belajar secara aktif, berarti mereka yang mendominasi aktivitas pembelajaran. Dengan ini mereka secara aktif menggunakan otak, baik untuk menemukan ide pokok dari materi kuliah, memecahkan persoalan, atau mengaplikasikan apa yang baru mereka pelajari ke dalam satu persoalan yang ada dalam kehidupan nyata. Dengan belajar aktif ini, siswa diajak untuk turut serta dalam semua proses pembelajaran, tidak hanya mental akan tetapi juga melibatkan fisik. Dengan cara ini biasanya siswa akan merasakan suasana yang lebih menyenangkan sehingga hasil belajar dapat dimaksimalkan
Strategi menilai proses pembelajaran meliputi: (1) penilaian peengetahuan awal, ingatan dan pemahaman, (2) penilaian kecakapan dalam berpikir analisis kritis, (3) penilaian kecakapan dalam berpikir sintesis kreatif, (4) penilaian dalam memecahkan masalah, dan (5) penilaian kecakapan dalam aplikasi dan performasi.

NONOSOFT KHOT

NONOSOFT KHOT
(Software Penulisan Huruf Arab)
===============================================================================

1. Pastikan software Nonosoft Khot sudah diinstal.
2. Pahami cara mengoperasikan software ini. Informasi lebih lanjut dapat dilihat di www.nonosoft.jifisa.net
3. Langkah-langkah membuat tulisan Arab.
Pertama, klik Start selanjutnya klik icon program Nonosoft Khot

Kemudian klik OK

Kedua, pastikan keyboard Mapping pada mode standar. Tampilan kosong di bawah ini berarti Anda siap membuat teks Arab. Tuliskan teks yang Anda kehendaki mengikuti panduan berikut ini.

________________________________________
Penulisan Arab Gundul
Default dari program NS-Khot ini adalah font Arab gundul (tanpa harakat). Jadi untuk menuliskan Arab gundul, yang digunakan hanyalah tombol keyboard yang berisi huruf-huruf hijaiyah saja, tanpa menggunakan tombol-tombol Fungsi (kecuali F12 dan Shift-F12).

Langkah-langkah untuk menulis tulisan di atas adalah sebagai berikut :1. Tekan tombol E, L, Y, K dan M.
2. Tekan tombol spasi 2 kali. Penekanan pertama untuk menutup huruf dan penekanan berikutnya untuk menambah spasi.
3. Tekan tombol B, Q, Y, A dan M.
4. Tekan tombol spasi.
5. Tekan A, L, L, Y dan L.
6. Tekan tombol spasi.
________________________________________
Penulisan Arab Berharakat
Agar memudahkan Anda maka sebagai contoh digunakan contoh tulisan sebelumnya yang diberi tanda-tanda harakat, yang hasilnya dapat dilihat di bawah ini :

Cara penulisannya sama seperti contoh sebelumnya, hanya terdapat penambahan harakat dengan penekanan tombol-tombol Fungsi.
1. Tekan tombol E, F1, L, F1, Y, F11, K, F3, M dan F11.
2. Tekan tombol spasi 2 kali.
3. Tekan tombol B, F2, Q, F2, Y, F1, A, M dan F2.
4. Tekan tombol spasi 2 kali.
5. Tekan A, L, F11, L, F1, Y, F11, L dan F2.
6. Tekan tombol spasi.
Untuk mengubah tulisan Arab gundul menjadi berharakat, Anda tidak perlu cukup dengan meletakkan cursor di belakang (sebelah kiri) huruf, kemudian tekanlah tombol Fungsi sesuai dengan tanda harakat huruf tersebut.
________________________________________

Penyisipan Tanda Waqaf
Dengan menggunakan fasilitas penyisipan tanda waqaf, Anda dapat dengan mudah menuliskan contoh di bawah ini :

1. Tekan tombol W, F1, M, F1, ~, F4, A, F3, Z, F2, L, F1.
2. Tekan tombol spasi.
3. Tekan tombol M, F2, N dan F11.
4. Tekan tombol spasi.
5. Tekan tombol Q, F1, B, F11, L, F2, K dan F1.
6. Tekan tombol spasi.
7. Tekan Shift+F12
8. Pilih tanda waqof , , dan tekan tombol OK.
9. Tekan W, F1, Spasi (memperbesar jarak), B, F2, A, X, F3, O, F2, R, F1, Koma dan F2.
________________________________________
Penambahan Nomor Ayat

1. Tekan tombol F, F1, H, F3, M dan F11.
2. Tekan tombol spasi.
3. Tekan tombol X, F1, Y, F1, R, F11, J, F2, E, F3, W, F11, N dan F1.
4. Tekan F12.
5. Masukkan angka 18 serta pilih tanda waqaf v.
6. Tekan tombol OK.
________________________________________
Penggunaan Karakter Gabungan
Agar fasilitas ini berfungsi maka NS-Khot harus dalam mode Auto

1. Tekan tombol A, F1, L, F11, P, F1. Pada penekanan tombol terakhir (F1), bentuk karakter lam dan ha' akan berubah m enjadi satu karakter dengan bentuk yang lebih "alami".
2. Tekan tombol M, F11, D, F3, @, F4, R, F1, B, Shift+F2.
3. Tekan tombol spasi.
4. Tekan tombol A, L, F11, E, F7, L, F1, M, F2, Y, F11, N, F1.
5. Tekan tombol spasi. Huruf ya' dan nun berubah (bergabung) menjadi satu karakter.
6. Tekan tombol F12. Dan isi nomor ayat serta tanda waqafnya.
________________________________________
Penggunaan Karakter Khusus
Pada contoh-contoh sebelumnya, sebenarnya telah digunakan beberapa karakter khusus seperti :

Perlu diperhatikan bahwa NS-Khot juga menyediakan bernacam-macam karakter "lam alif" dengan tanda harakat yang berbeda-beda, karena di dalam Al Qur'an terdapat banyak sekali model huruf ini.
Untuk penulisan lam alif dengan memakai tanda hamzah pada huruf alifnya dapat dilakukan dengan cara menekan tombol Shift+S sehingga muncul huruf รถ .
Kemudian perubahan tanda harakat dilakukan dengan penekanan tombol-tombol fungsi seperti dalam tabel.
________________________________________
Penulisan dengan Format Justify
Untuk menulis ayat-ayat Al Qur'an atau Hadits yang memerlukan perataan margin kiri dan kanan (justify), Anda harus melakukan perataan secara manual dengan menggunakan "perasaan". Untuk melakukan perataan ini digunakan dua cara :
1. Memakai spasi. Jika tombol spasi ditekan akan menghasilkan spasi normal, dan jika tombol spasi ditekan bersamaan dengan shift : Shift+Space, maka akan menghasilkan spasi yang lebih kecil.
2. Memakai garis hubung. Dengan menggunakan tombol minus '-', akan dihasilkan garis hubung normal. Dan jika ditekan tombol Shift+'-' akan dihasilkan garis hubung yang lebih panjang.Cara spasi digunakan diantara huruf, sedangkan garis hubung digunakan diantara dua huruf yang dapat dihubungkan. Penulisan dengan format justify dapat dilihat pada contoh di bawah ini

________________________________________
Menyisipkan dalam Dokumen
Sebelumnya bukalah dokumen yang Anda inginkan dengan pengolah kata standar, misalnya MS-Word. Setelah itu disaat Anda ingin menyisipkan tulisan Arab, tulislah pada NS-Khot, kemudian blok tulisan tersebut. Setelah itu lakukan perintah Copy (Ctrl+C). Aktifkan MS-Word, lalu lakukan perintah Paste (Ctrl+V). Perintah copy-paste ini juga bisa dilakukan dengan mouse melalui icon yang ada.Perlu diperhatikan bahwa "Align Default" dari NS-Khot adalah "Align Right" serta ukuran defaultnya adalah 26, untuk itu setelah proses paste perlu disesuaikan font Arab dengan font non-Arab yang terdapat pada program MS-Word.
________________________________________
Mengubah ke dalam Format Gambar
Untuk membuat tulisan Arab dengan format gambar disini akan dijelaskan langkah-langkahnya, yang bisa dianggap sebagai cara yang "tidak lazim", yaitu dengan menggunakan MS-Power Point sebagai perantara :
1. Bukalah NS-Khot, MS-Power Point (kondisi Blank Slide) dan program Editor Gambar (misal:Paint Shop Pro).
2. Ketikkan tulisan Arab yang Anda inginkan pada NS-Khot.
3. Blok tulisan yang akan dijadikan format gambar.
4. Lakukan perintah Copy.
5. Aktifkan Power Point, lakukan perintah Paste sehingga muncul tulisan Arab pada Power Point.
6. Kemudian lakukan perintah Copy di program Power Point.
7. Aktifkan Paint Shop Pro dan lakukan perintah Paste pada program ini, sehingga akan dihasilkan gambar yang besarnya sesuai dengan ukuran font.
8. Simpanlah ke dalam file dengan format gambar yang Anda inginkan.
Dengan cara yang sama seperti d I atas, kita dapat menyisipkan teks arab ke dalam program VISIO (sebagai pengganti Paint Shop Pro).
________________________________________
Kata Ganti nama diri dalam bentuk tunggal, ganda dan jamak :




Ketiga, teks yang sudah Anda buat dapat disalin ke program lain seperti MS. Word maupun PP 2007. Untuk menyalin lakukan dengan memblok teks Arab dan menekan ctrl C lalu pindahkan kursor ke MS Word ataupun PP 2007 kemudian ctrl V special. Anda tinggal mengatur ukuran font maupun variasi tampilan.

Selamat berlatih.

Drs. Abd. Aziz Rofiq, M.Pd.

Jumat, 13 November 2009

IDEOLOGI PENDIDIKAN: SEBUAH PENGANTAR

ACAPKALI pendidikan selalu diperdengarkan ditelinga kita, dengan demikian, pendidikan menempati kompentensi yang cukup tinggi dalam menyelesaikan berbagai problem sosial yang berkembang di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa betapa penting pendidikan bagi keberlangsungan spesies manusia. Bahkan Rasul Muhammad sendiri menyatakan bahwa "carilah ilmu mulai dari kandungan sampai ke liang lahat". Hal ini tentunya membawa implikasi logis bagi dinamika dan keberlangsungan pendidikan itu sendiri.Atas dasar argumentasi diatas, tulisan ini, sedikit mencoba memaparkan akar muasal pendidikan tersebut, dengan harapan dari tinjauan arkeologis-genealogis-meminjam istilah Michael Faucoult-akan ditemukan sebuah pengertian mendasar tentang makna pendidikan itu sendiri. Lebih dari itu, juga mencoba untuk merumuskan ide dasar dari perkembangan kecenderungan-kecenderungan yang ada dalam dunia pendidikan.


Kata pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu "Paedagogus" berdasar pada pangkal kata "pais", yang berarti perkataan yang berhubungan dengan anak. kata Dalam perkembangan sejarah dan sejalan dengan keadaan masyarakat dan kebudayaan, arti pendidikan terus berubah-ubah. Hadi Supeno dalam bukunya yang berjudul "Pendidikan dalam Belenggu Kekuasaan" menyebutkan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa untuk mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian, pendidikan berarti usaha untuk melanggengkan budaya yang ada, kepada generasi penerus serta upaya mempertahankan status quo, yakni tetap bertahannya nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.


Pendapat ini kemudian diargumentasikan sendiri oleh Supeno. Ia memberikan gambaran bahwa pendidikan sebenarnya harus mampu menolong atau membantu proses peserta didik dalam menemukan jati dirinya. Pendidikan harus mampu menemukan ke-berdikari-an baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Dari sini diharapkan pendidikan tidak lagi sebagai sebuah proses penyadaran setengah hati. Pendidikan tidak lagi asal-asalan, melainkan pendidikan-menurut J. Sudarminta-adalah usaha yang dilakukan secara sadar oleh pendidik melalui bimbingan, pengajaran, dan latihan untuk membantu peserta didik mengalami proses pemanusiaan diri kearah terciptanya pribadi yang dewasa susila.


Berbeda dengan Supeno maupun Sudarminta, Muhaimin dalam bukunya "Paradigma Pendidikan Agama Islam" memberikan cakupan yang lebih luas tentang pengertian pendidikan yaitu sebagai aktivitas dan fenomena. Pendidikan sebagai aktivitas merupakan upaya yang secara sadar dirancang untuk membentuk seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup, dan ketrampilan hidup baik yang bersifat mental maupun sosial. Sedangkan pendidikan sebagai fenomena adalah sebuah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya adalah berkembangnya suatu pandangan hidup, sikap hidup dan ketrampilan hidup pada salah satu ataupun beberapa pihak.


Disisi lain pendidikan juga sering diidentikkan perannya dengan memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural suatu bangsa, hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh John C. Bock dalam "Education and Development : A Conflic Meaning" (1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan juga mengambil peran strategis guna menyiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan dan mendorong perubahan sosial serta untuk memeratakan kesempatan dan pendapatan. Peran pertama merupakan fungsi politik pendidikan sedangkan dua peran yang lainnya merupakan fungsi ekonomi.


Berkaitan dengan peranan pendidikan dalam pembangunan nasional muncul dua paradigma yang menjadi kiblat pendidikan, yakni paradigma fungsional dan pardigm sosialisasi. Paradigma fungsional melihat bahwa keterbelakangan dan kemiskinan disebabkan karena masyarakat tidak mempunyai cukup pendidikan yang memiliki pengetahuan, kemampuan serta sikap modern. Menurut pengalaman masyarakat di barat, lembaga pendidikan dengan sistem persekolahan merupakn lembaga utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, melatih kemampuan dan keahlian, dan menanamkan sikap modern pada individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Perkembangan lebih lanjut muncul sebuah tesis human investment, yang menyebutkan bahwa investasi dalam diri manusia lebih menguntungkan, memiliki economic rate of system yang lebih tinggi dibandingkan investasi dalam bidang fisik.


Sejalan dengan paradigma fungsional, paradigma sosialisasi melihat peranan pendidikan dalam pembangunan adalah, pertama, mengembngkn kompetensi individu. kedua, kompetensi yang tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktifitas. Ketiga, meningkatkan kemampuan warga masyarakat. Dengan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan, akan meningkatkan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, berdasarkan paradigma sosialisasi ini, pendidikan harus diperluas secara besar-besaran dan menyeluruh kalau suatu bangsa menginginkan kemajuan.

Bagi kaum liberalis pendidikan diartikan sebagai usaha untuk melestarikan dan meningkatkan mutu tatanan sosial yang ada dengan cara mengajarkan pada setiap anak-anak bagaimana cara mengatasi masalah-masalah kehidupannya sendiri secara efektif. Dalam arti rinci pendidikan harus berupaya untuk menyedikan informasi dan ketrampilan yang diperlukan siswa untuk belajar sendiri secara efektif. Disamping itu, pendidikan harus mengajarkan bagaimana memecahkan persoalan-persoalan praktis melalui penerapan proses-proses penyelesaian masalah secara individual maupun kolektif, dengan berdasarkan pada tata cara ilmiah-rasional bagi pengujian dan pembuktian gagasan.

Max Rafferty dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa pendidikan yang sesungguhnya adalah upaya penumpukan pengetahuan yang besar yang ditambahkan ke dalam warisan para pemikir dan praktisi dari generasi ke generasi. Pendidikan menuntut keapaadaan penyampaian. Seorang guru bahasa inggris, misalkan, harus mengenal tatabahasa luar dalam, dan jangan mengajarkan omong kosong tentang bagaimana cara bersulang yang baik dengan menggunakan bahasa inggris.


Ilmu pendidikan atau paedagogik adalah ilmu yang membicarakan masalah-masalah umum pendidikan secara menyeluruh dan abstrak. Paedagogik selain bercorak teoritis juga bercorak praktis. Untuk yang teoritis diutarakanlah hal-hal yang bersifat normatif, sedangkan yang praktis menunjuk pada bagaimana pendidikan itu harus dilaksanakan.

Paedagogik sebagai ilmu pokok dalam pendidikan dan sesuai dengan jiwa dan isinya sudah barang tentu memerlukan landasan-landasan yang berasal dari filsafat atau setidak-tidaknya mempunyai hubungan dengan filsafat. Dikatakan landasan, apabila melahirkan pemikiran-pemikiran yang teoritis mengenai pendidikan, dan dikatakan hubungan bila berbagai pemikiran mengenai pendidikan memerlukan iluminasi dan bantuan penyelesaian filsafat.


Dari pengertian diatas dapatlah diidentifikasi bahwa pemikiran-pemikiran filosofis tersebut lantas memberikan sumbangn yang cukup signifikan bagi perkembangn metodologi pendidikan. Dikarenakan tarikan metodologi selalu berlatar empiris yang berbeda, dus, berbeda pula simpulannya. Dengan demikian sah, jika muncul banyak aliran-alitan baik dalam dunia filsafat maupun lebih khusus lagi yang berkembang dalam dunia pendidikan. Berikut adalah beberapa aliran yang berkembang dalam dunia pendidikan plus dengan thesa-sinthesa dan antithesa yang melatarbelakanginya.

Fundamentalisme

Fundmentalisme adalah posisi etis yang menganggap bahwa kehidupan yang baik terwujud dalam ketaatan terhadap tolok ukur keyakinan dan perilaku yang bersifat intuitif dan atau yang diwahyukan. Pada umumnya fundamentalisme menerima jalur penalaran yang dapat diikhtisarkan menjadi lima titik dasar.


Pertama, ada jawaban otoritatif terhadap seluruh problem kehidupan yang memiliki arti penting. Kedua, jawaban-jawaban itu pada dasarnya bersandar pada kewenangan dari luar (eksternal); entah itu dalam wahyu keagamaan yang diterima oleh para nabi atau orang suci. Ketiga, jawaban itu bukan saja otoritatif, melainkan langsung mengena pada persoalan, tidak mengandung makna ganda, tidak mendua dan bisa langsung dimengerti oleh orang awam, tidak membutuhkan tafsiran khusus ataupun campur tangan pakar. Keempat, jawaban-jawaban yang disediakan oleh intuisi/iman sudah cukup bagi siapapun yang berhasrat hidup secara baik. Sedangkan yang kelima, bahwa untuk kehidupan yang baik, orang tidak hanya perlu kembali pada kepastian-kepastian kebijaksanaan umum, atau pada agama, lebih dari itu, yakni dengan mengamini segala macam bentuk pewahyuan .

Dengan demikian pendidikan bagi kaum fundamentalis bertujuan untuk membangkitkan kembali dan meneguhkan kembali cara-cara lama yang lebih baik dibanding sekarang. Sedangkan tujuan institusional pendidikannya antara lain untuk membangun kembali masyarakat dengan cara mendorong agar kembali ke tujuan-tujuan yang semula, yakni memberikan informasi dan ketrampilan-ketrampilan yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam tatanan sosial.


Adapun ciri-ciri umumnya adalah bertumpu pada pengetahuan sebagai sebuah alat untuk membangun kembali masyarakat yang mengikuti pola keunggulan moral tertentu yang dahulu pernah ada.


Karena pendidikan adalah pewarisan moral, berpusat dari tujuan asli, maka penekanan kembali pada masa silam sebagai orientasi korektif (petunjuk ke arah pembetulan) merupkan hal yang mustahaq bagi kaum fundamentalisme.


Intelektualisme

Secara umum intelektualisme meyakini bahwa ada kebenaran-kebenaran tertentu yang sifatnya mutlak dan kekal, yang melampaui ruang dan waktu tertentu. Bahwa kebenaran-kebenaran itu selalu ada. Dan bahwa kebenaran-kebenaran itu berlaku bagi ummat manusia pada umumnya dan tidak merupakan milik yang unik dari individu maupun kelompok manusia tertentu saja.


Secara umum tujuan yang ingin dicapai oleh intelektualisme pendidikan adalah bahwa menganalisa, meneruskan dan melestarikan kebenaran, mengajarkan pada terdidik bagaimana cara menalar, meneruskan dan menyalurkan kebijaksanaan-kebijaksanaan dari masa silam yang bertahan mutlak dilakukan. Adapun ciri umumnya adalah bahwa pengetahuan adalah sebuah tujuan akhir yang ada dalam diri manusia. Bahwa kebenaran adalah intrinsik. Manusia adalah kodrat atau hakekt yang sifatnya universal, yang melampaui keadaan-keadaan tertentu yang telah ada.


Konservativisme

Bagi kaum konservatif, tujuan atau asaran pendidikan adalah sebagai sarana pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi-tradisi. Berciri "orientasi ke masa kini", para pendidik konservatif sangat menghargai masa silam, namun terutama memusatkan perhatiannya pada kegunaan dan pola-pola belajar mengajar didalam konteks sosial yang ada sekarang ini, ia ingin mempromosikan perkembangan masyarakat kontemporer yang seutuhnya dengan cara memastikan terjadinya perubahan yang perlahan-lahan dan bersifat organis yang sesuai dengan keperluan-keperluan legal intitusional suatu kemapanan.


Selain itu konservatisme juga bertujuan untuk mendorong pemapanan dan penghargaan bagi lembaga-lembaga, tradisi-tradisi dan proses-proses budaya yang sudah teruji oleh waktu, termasuk rasa hormat yang tinggi. Dengan demikian, kaum konservatif menganggap bahwa meneruskan informasi dan ketrampilan yang sesuai, supaya berhasil dalam tatanan soial yang ada, adalah merupakan tujuan lembaga pendidikannya.

Liberalisme

Prinsip kaum liberalisme pendidikan adalah mengangkat perilaku personal yang efektif. Dalam hal ini, tak lebih hanya sebagai sarana untuk pembelajaran bagi siswa tentang bagaimana cara menyelesaikan persoalan praktis melalui penerapan tatacara-tatacara pemecahan masalah secara personal maupun kelompok, dengan berdasar pada metode ilmiah-rasional. Adapun ciri-ciri umum dari liberalisme pendidikan antara lain;

Pertama, Pengetahuan adalah alat yang digunakan untuk memecahkan masalah praktis. Kedua, Individu adalah pribadi yang unik, yang mampu menemukan kepuasan terbesar dalam mengungkapkan dirinya menanggapi kondisi yang berubah; pemikiran efektif (kecerdasan praktis)-kemampuan menyelesaikan problema-problema personal secara efektif-adalah perangkat yang mesti digunakan. Ketiga, pendidikan adalah pengembangan efektifitas personal, yang berpusat pada tatacara-tatacara pemecahan masalah perseorangan maupun kelompok dengan menekankan pada situasi dan masa depan yang dekat sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhan dan persoalan-persoalan individu sekarang.

Konstruktivisme

Menurut Von Glasersfeld (1988) pengertian konstruktif kognitif muncul pada pertengahan abad ke-19 dalam tulisan Marx Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktifisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Itali. Dialah cikal bakal konstruktifisme. Pada tahun 1710 Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapienta, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata "Tuhan adalah pencipta alam, dan manusia adalah tuan dari ciptaannya". Ia menjelaskan bahwa "mengetahui" berarti "mengetahui bagaimana cara membuat sesuatu". Ini berarti orang dapat mengetahui sesuatu setelah ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu.


Dalam dunia pendidikan konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena dan lingkungan sekitar. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena. Bagi kaum konstruktifisme, pengetahuan tidak bisa begitu saja ditransfer dari seseorang kepada seseorang lainnya, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri, karena pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Dalam proses ini keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya.


Progressivisme

Progressifime mempunyai konsep yang didasari oleh kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam keberlangsungan manusia itu sendiri. sehubungan dengan hal itu, progressifisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter.


Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan-tujuan (yang baik), karena kurang menghargai dan memberikan tempat yang semestinya kepada kemampuan-kemampuan dalam proses pendidikan. Padahal semua itu adalah ibarat motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan (progress)
.

Oleh karena itu, kemajuan (progress) ini menjadi perhatian kaum progressifisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progressifisme merupakan bagian-bagian utama dari kemapanan sebuah peradaban.

Essensialisme


Essensialisme mempunyai tinjauan mengenai pendidikan yang berbeda dengan progressifisme. Kalau progressifisme menganggap bahwa banyak hal yang mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai yang dapat berubah serta berkembang, essensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat. Dalam pendidikan, fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadikan timbulnya pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu.


Pendidikan yang bersendikan tata nilai-nilai yang bersifat demikian ini dapat menjadikan pendidikan itu sendiri kehilangan arah. Dengan demikian, pendidikan haruslah bersendikan pada nilai-nilai yang dapat mendatangkan stabilitas. Agar dapat terpenuhi maksud tersebut nilai-nilai itu perlu dipilih agar mempunyai tata yang jelas dan yang telah teruji oleh wktu. Dengan demikian, prinsip essensialisme menghendaki agar landasan-landasan pendidikan adalah nilai-nilai yang essensial dan bersifat menuntun.

Perennialisme

Perennialisme memandang bahwa keadaan sekarang adalah zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan, dan kesimpangsiuran. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perennialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang pertama-tama dari filsafat dan filsafat pendidikan.

Perennialisme mengambil jalan regresif, karena mempunyai pandangan bahwa tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan manusia. Motif perennialisme dengan mengambil jalan regresif tersebut, bukan hanya nostalgia pada nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, melainkan bagaimana agar nilai-nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan kebudayaan.

Belajar menurut perennialisme adalah latihan mental dan disiplin jiwa. Dengan demikian pandangan tentang belajar hendaklah berdasarkan atas faham bahwa manusia pada hakekatnya adalah rasionalistis. Maka, belajar tidak lain adalah mengembangkan metode berpikir logis, deduktif dan induktif sekaligus

























SISTEM PENDIDIKAN DALAM IDEOLOGI SEKULER-KAPITALISME : STUDI KASUS SISTEM PENDIDIKAN AMERIKA

Pemikiran-Pemikiran Dasar
Sebagaimana halnya dengan ideologi-ideologi yang lain, ideologi sekuler memiliki pemikiran dan metode untuk semua aspek kehidupan manusia, termasuk dalam sistem pendidikan. Ideologi sekuler-kapitalisme juga menjadikan sistem pendidikan sebagai salah satu sarana untuk mentransfer pemikiran-pemikiran mereka ke masyarakat dan mencetak para pengemban-pengemban baru ideologi ini.
Bahkan lebih dari itu, bila dilihat dari sejarah awal ideologi ini, akan terlihat pentingnya peranan dunia pendidikan bagi ideologi sekuler-kapitalisme. Pemikiran-pemikiran awal ideologi sekuler muncul dalam benak kaum pemikir dan intelektual abad pertengahan Eropa. Penindasan dan pengekangan pemikiran yang dilakukan institusi gereja di abad pertengahan menyebakan lahirnya pemikiran-pemikiran tandingan dari kaum intelektual Eropa yang berupa konsep kebebasan.
Perkembangan di Eropa, sebagai akibat kuatnya kaum menengah dan kaum intelektual, kemudian melahirkan revolusi industri, yang memunculkan kelompok berkuasa yang baru, yaitu para pemilik modal dan para pengusaha. Semenjak itulah, ideologi sekulerisme menjadi lebih dominan pada sektor ekonominya, dan lebih sering disebut sebagai ideologi kapitalisme. Walaupun begitu, peran penting para cendekiawan dan intelektual masih sangat kuat, karena mereka menjadi motor penggerak pemikiran-pemikiran ideologi ini, serta menjadi penjaga bagi keberlangsungan ideologi ini.
Sinergi antara para intelektual dan para pemilik modal, menjadi bentuk sinergi baru mirip seperti sinergi para gerejawan dan raja sebelumnya. Para intelektual merupakan ujung tombak dalam perang pemikiran yang dikobarkan ideologi ini dalam menghadapi pemikiran-pemikiran ideologi lawan, seperti ketika akan menjajah suatu negara yang mungkin di dalamnya terdapat suatu ideologi baik diemban oleh negara tersebut ataupun diemban oleh sebagian masyarakatnya, ataupun ketika berusaha mendominasi percaturan politik dunia.
Pemikiran-pemikiran ideologi sekuler-kapitalisme didasarkan pada ide dasar pemisahan agama dari kehidupan, sehingga kehidupan pun kemudian diatur berdasarkan pada pemikiran manusia. Dalam hal pengaturan kehidupan yang menjadi asasnya adalah asas manfaat sedangkan tujuannya adalah mencapai kebahagian/kesejahteraan material semaksimal mungkin. Untuk mencapai tujuannya, terdapat beberapa konsep-konsep yang hendak diwujudkan dan dijaga, demi tetap terjaganya sekulerisme. Konsep-konsep ini berintikan pada konsep kebebasan, yaitu: konsep kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat/berekspresi, kebebasan beragama/berkeyakinan, dan kebebasan bertingkahlaku.
Pemikiran ideologi sekuler kapitalisme dalam sistem pendidikan berlandaskan pada konsep-konsep serta asas-asas di atas. Dunia pendidikan difungsikan sebagai penopang bagi mesin industri kapitalisme, sehingga tujuan dari pendidikan dalam ideologi ini adalah untuk mencetak individu-individu yang profesional yang dapat mendukung keberlangsungan industri-industri mereka, intinya adalah mencetak para pekerja yang baik.
Karena itu terkadang negara diharuskan ikut mendukung bahkan mungkin juga total mendanai masalah pendidikan. Hal ini karena pendidikan dipandang sebagai investasi, dan dengan menggunakan negara maka biaya investasi untuk mencetak pekerja-pekerja yang tangguh bagi mesin industri kapitalis, akhirnya ditanggung oleh masyarakat melalui pajak. Bentuk pendanaan oleh negara dalam dunia pendidikan ternyata bervariasi antara satu negara barat dengan negara yang lainnya. Negara seperti Jerman dan Austria, yang menerapkan sosialisme negara, mendanai seluruh sistem pendidikannya, dari tingkat rendah sampai perguruan tinggi. Sedangkan negara seperti USA, mendanani hampir keseluruhan pendidikan rendah sampai menengah, dan sebagian pendidikan tinggi. Jadi bukanlah tabu bagi negara, dalam ideologi kapitalisme, untuk ikut mendanai biaya pendidikan.
Untuk menjaga kebebasan berpendapat/berkespresi, maka peran dan campur tangan negara dalam masalah sistem pendidikan, harus sangat minimal, terutama dari segi kurikulum. Sebab bila tidak dikhawatirkan akan membatasi berkembangnya pemikiran-pemikiran atau pendapat-pendapat tertentu, lalu pemikiran dan pendapat yang sejalan dengan pemerintahlah yang akan dikembangkan, baik dalam dunia akademik, maupun di masyarakat.
Untuk menjaga kebebasan berpendapat/berekspresi ini, maka institusi pendidikan haruslah semaksimal mungkin, mandiri dan otonom, dalam pendanaan maupun dalam pembuatan kurikulum/materi ajar. Sehingga terkadang di suatu negera bentuk sistem pendidikannya tidaklah terstruktur rapi di bawah kendali negara. Seperti misalnya di USA, sistem pendidikan yang terstruktur tidak tampak dalam level pemerintah federal, tetapi hanya ada pada level pemerintah negara bagian, maupun pemerintahan lokal (distrik atau kota). Banyak badan-badan sertifikasi sekolah maupun sertifikasi guru yang tidak terkait langsung dengan struktur pemerintah.
Penanaman ideologi sekuler-kapitalisme kebanyakan tidak dilakukan secara langsung melalui kurikulum tetapi melalui materi pendidikan lewat para pendidik maupun lewat pendapat-pendapat para cendekiawan mereka yang mengembangkan pemikiran-pemikiran ini, kepada para peserta didik, khususnya di tingkat menegah ke atas, maupun ke masyarakat umum melalui media massa. Cara yang paling sering dipakai dalam dunia pendidikan adalah fakta sejarah bangsa Barat, ketika di masa penindasan gereja dibandingkan dengan masa reinaissance.
Untuk menjaga kebebasan kepemilikan, maka siapa saja, berhak dan boleh membuat institusi pendidikan, termasuk pemerintah, dan juga kalangan agamawan. Juga dibolehkan untuk menjadikan institusi pendidikan itu sebagai suatu lembaga profit, ataupun lembaga untuk mengkader orang-orang dengan pola agama tertentu. Tetapi bila dilakukan oleh negara, maka untuk menjaga kebebasan beragama/berkeyakinan, maka institusi tersebut tidak boleh mengajarkan pemikiran-pemikiran khusus agama tertentu, kecuali sebatas sebagai ilmu. Tidak boleh juga dalam institusi milik negara tadi adanya segala sesuatu yang bisa membuat institusi tersebut condong pada suatu kelompok dalam masyarakat, ataupun memusuhi suatu kelompok dalam masyarakat. Untuk menjamin keadilan dalam kebebasan kepemilikan, dalam hal dana-dana dari pemerintah untuk dunia pendidikan, termasuk dana untuk riset penelitian, tidak boleh memprioritaskan berdasarkan kepemilikan. Artinya, suatu institusi pendidikan milik pemerintah maupun milik non pemerintah memiliki hak dan kesempatan yang sama terhadap dana-dana pendidikan dan riset tadi. Termasuk juga dalam masalah kebebasan kepemilikan, institusi pendidikan bebas dalam mencari sumber-sumber dananya sendiri, baik dari masyarakat maupun dari pihak luar bahkan asing.
Sekilas Sistem Pendidikan di USA
Untuk memberikan gambaran aplikasi penerapan konsep-konsep pemikiran sekuler-kapitalisme dalam bidang pendididikan, akan kita berikan sekilas gambaran sistem pendidikan di USA. Walaupun model sistem pendidikan di USA bukan merupakan satu-satunya model penerapan konsep sekuler-kapitalisme dalam bidang pendidikan, tetapi karena saat ini USA merupakan negara adidaya, maka konsepnya dalam berbagai bidang akan terasa pengaruhnya di negeri-negeri lain, khususnya di Indonesia.
Sistem pendidikan di Amerika memiliki sifat yang khas yang berbeda dari sistem pendidikan di negara-negara lain, hal ini terutama karena sistem pemerintahannya yang mendelegasikan kebanyakan wewenang kepada pemerintahan negara bagian dan pemerintahan lokal (distrik atau kota).
Amerika tidak memiliki sistem pendidikan nasional, yang ada adalah sistem pendidikan dalam artian terbatas, pada masing-masing negara bagian. Hal ini berdasarakan pada filosofi bahwa pemerintah (federal/pusat) harus dibatasi perannya, terutama dalam pengendalian kebanyakan fungsi-fungsi publik seperti sekolah, pelayanan sosial dsb. Kendali semacam itu harus berada di tangan negara bagian atau masyarakat dan pemerintahan lokal.
Karena itu di Amerika dalam bidang pendidikan dasar dan menengah, tidak ada kurikulum nasional, bahkan tidak ada kurikulum negara bagian. Apa yang ada hanyalah semacam standar-standar kompetensi lulusan yang ditetapkan oleh pemerintahan negara bagian ataupun pemerintahan lokal. Walaupun begitu pemerintah federal (pusat) diberi wewenang terbatas untuk mengintervensi dalam masalah pendidikan, bila terkait dengan empat hal, yaitu untuk :
- memajukan demokrasi,
- menjamin kesamaan dalam peluang pendidikan,
- meningkatkan produktivitas nasional,
- memperkuat pertahanan/ketahanan nasional.
Bentuk intervensi pemerintah pusat tidak dalam bentuk penentuan materi ajar, tetapi dalam bentuk usulan-usulan maupun program-program pendanaan dengan tujuan-tujuan tertentu. Sebagai akibatnya pendanaan pemerintah federal di bidang pendidikan sangat kecil, sebagai gambaran di tahun 2005 hanya 2,9 persen dari total budjet pemerintah federal yang dialokasikan untuk pendidikan. Total 2,9 persen dari dana federal tersebut hanya menyumbang antara 8 sampai 10 persen budjet pendidikan di seluruh Amerika. Ini berarti sumbangan terbesar pendanaan pendidikan ada pada pemerintah negara bagian dan dana masyarakat.
Sebagian besar sekolah tingkat dasar dan menengah dimiliki dan didanai oleh negara bagian dan pemerintah lokal, dan semuanya gratis. Tetapi terdapat juga sejumlah sekolah swasta yang tidak mendapat dana dari pemerintah, dan biasanya sangat mahal tetapi memiliki kualitas yang terkenal. Sekolah semacam ini biasanya dikelola oleh lembaga keagamaan, dan biasanya hanya dapat diakses oleh kelompok elit dan keluarga-keluarga kaya di Amerika. Kebanyakan para politikus dan negarawan Amerika adalah alumni sekolah-sekolah elit semacam ini.
Dalam bidang pendidikan tinggi, semua universitas memiliki otonomi yang sangat besar dalam masalah akademik dan pendanaan. Tidak ada kurikulum nasional dan juga tidak ada standarisasi kompetensi kelulusan di perguruan tinggi. Terdapat beberapa lembaga, khususnya kebanyakan majalah, yang melakukan perangkingan terhadap unviersitas-universitas, seperti US News and World Reports (menerbitkan America’s Best Colleges dan America’s Best Graduates Schools), dan Business Week (menerbitkan Best Business Schools), tetapi lembaga-lembaga ini bukan lembaga pemerintah. Juga terdapat berbagai lembaga akreditasi regional maupun nasional, yang mengakreditasi berbagai bidang pendidikan maupun bidang profesional. Tetapi lembaga akreditasi ini tidak terkait dengan pemerintah baik pusat maupun pemerintahan negara bagian.
Lembaga-lembaga akreditasi tadi semacam yayasan non profit yang kebanyakan anggotanya adalah para profesional terkait bidang yang diakreditasi. Lembaga-lembaga akreditasi tersebut memperoleh pengakuan melalui dua lembaga, Council of Higher Education Accreditation (CHEA suatu lembaga swasta - non pemerintah) dan US. Department of Education. Ketiadaan kurikulum maupun standar nasional maupun lokal di bidang pendidikan tinggi, menyebabkan kebanyakan universitas-unversitas di Amerika, membentuk kurikulumnya berdasarkan pada perkembangan pasar dunia kerja dan industri. Kerjasama dengan pihak perusahaan/industri juga sering dilakukan, dalam bentuk magang (internship), yang tentunya menguntungkan perusahaan karena mendapatkan sumberdaya manusia yang murah dengan kualitas yang memadai. Bentuk kerjasama dengan pihak industri, secara terbatas, juga menentukan pola kurikulum yang ada di suatu universitas.
Sebagian besar unversitas adalah universitas publik (negeri) yang dimiliki oleh negara bagian. Sebanyak 92 dari 100 universitas terbesar di Amerika adalah universitas publik (negeri) yang dimiliki negara-negara bagian. Tidak ada institusi pendidikan yang dimiliki negara federal kecuali beberapa akademi militer. Universitas-universitas publik tersebut dipimpin oleh board of trustees (semacam majelis wali amanat) yang bertanggung jawab kepada pemerintah negara bagian yang menjadi pemiliknya. Walaupun didanai oleh negara bagian, tetapi sebagian pendanaan universitas-unversitas publik juga berasal dari masyarakat, terutama peserta didik dalam bentuk SPP dan biaya-biaya lain, bahkan hanya sekitar 10 sampai 30 persen budjet universitas publik yang berasal dari pemerintah negara bagian di mana universitas itu berada. Selebihnya budjet universitas publik, berasal dari hibah, spp mahasiswa, kontrak-kontrak kerjasama dan sumbangan.
Walaupun tidak semahal SPP univesitas privat/swasta, SPP di universitas publik masih termasuk tinggi, sehingga masyarakat dari kalangan menengah bawah kesulitan dalam memasukinya, kecuali dengan bantuan sistem pendanaan. Banyak siswa yang tidak akan dapat merasakan pendidikan tinggi kecuali mendapat bantuan berupa grant (hibah) atau scholarship(beasiswa). Banyak juga siswa yang mengambil pinjaman khusus pendidikan (student loans) untuk biaya kuliahnya, yang nantinya dilunasi ketika dia sudah lulus. Untuk membantu mengurangi beban biaya pendidikan, kebanyakan universitas juga membuka pekerjaan untuk mahasiswanya, seperti bekerja sebagai asisten riset, maupun pekerjaan administrasi. Dengan mekanisme semacam ini, universitas dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan biaya yang lebih murah, karena mahasiswa pekerja (student worker) ini digaji dengan honor yang lebih rendah dari honor pekerja biasa, dan sering tidak mendapat keuntungan-keuntungan sebagaimana layaknya pekerja biasa di Amerika.
Selain universitas-universitas publik, terdapat sejumlah universitas privat (swasta). Tentu saja biaya kuliah di universitas-universitas ini sangat mahal, mencapai lima kali lipat dari biaya di universitas publik kebanyakan. Tetapi dalam bidang kualitas, hampir 25 posisi teratas dalam rangking-rangking berbagai bidang, kecuali tiga atau empat posisi, dikuasai oleh universitas-unversitas privat. Karena tidak menggunakan dana publik maka pengelolaan universitas-universitas privat ini lebih fleksibel dan bebas. Bila universitas publik tidak boleh membuka cabang di luar negara bagiannya, sebaliknya universitas privat dapat bebas menbuka cabang di berbagai tepat termasuk di luar negeri.
Universitas-universitas privat inilah yang banyak `mengekspor pendidikan’ ke berbagai negera. Mereka juga lebih bebas dalam memperoleh sumber-sumber pendanaan maupun bekerjasama dengan berbagai pihak (industri). Ketika berkaitan dengan pendanaan riset, pemerintah federal berkewajiban untuk memperlakukan semua lembaga pendidikan secara sama, sehingga universitas privat memiliki peluang yang sama dalam mendapat dana riset seperti halnya universitas publik. Kesemua hal di atas, ditambah dengan kebebasan dalam memperoleh dana-dana tambahan dari industri dan sumbangan pribadi yang tidak mudah diakses universitas publik, menyebabkan universitas-universitas privat lebih berkualitas dan beberapa di antaranya menjadi universitas unggulan taraf internasional.
Terlepas dari bentuk dan sistem pendidikan yang saat ini diterapkan di Amerika, dalam sejarah perkembangan Amerika terdapat beberapa hal fundamental yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan dikalangan para ahli-ahli mereka antara lain:
1.Bagaimana seharusnya materi yang diajarkan di sekolah
2.Bagaimana seharusnya pendidikan dibagi/didistribusi
3.Bagaimana seharusnya mendistribusi otoritas pendidikan
4.Siapa yang seharusnya menanggung beban biaya pendidikan
5.Seberapa banyak sumber daya kita yang harus dikerahkan untuk dunia pendidikan.
Dan masih banyak lagi. R.Freeman Butts, pakar dari universitas Columbia dan pengarang banyak buku pendidikan, mengatakan bahwa akar penyebab perdebatan-perdebatan tersebut adalah adanya tiga pemikiran kuat yang berbeda dalam masyarakat Amerika:
1.Pemikiran nilai perekat, menginginkan sistem pendidikan menghasilkan warga negara yang efektif, terpelajar dan bertanggungjawab,
2.Pemikiran nilai-nilai pembeda, menginginkan nilai-nilai (minoritas) mereka terlayani,
3.Pemikiran modernisasi dan globalisasi, menekankan pentingnya membentuk `warga negara dunia’ dalam dunia yang saling berketergantungan, modern dan urban.
Pemanfaatan Sistem Pendidikan dalam Penjajahan
Dalam rangka penjajahan terhadap suatu negara, di mana di sana ada ideologi tertentu (Islam) yang diemban oleh sebagian masyarakatnya, maka pihak kapitalis penjajah akan melakukan serangan pemikiran untuk melemahkan dan melenyapkan ideologi musuh serta memperkuat masuknya ideologi sekuler kapitaliseme di negeri tersebut. Bidang pendidikan telah menjadi andalan mereka untuk memasukkan pemikiran-pemikiran ideologi mereka ke benak umat, sejak sebelum runtuhnya daulah khilafah Turki Usmani – dengan sekolah-sekolah misionaris yang menjadi awal penyebab keruntuhan daulah– sampai sekarang - dalam rangka menghabiskan sisa-sisa ideologi Islam sampai ke akar-akarnya.
Penanaman pemikiran-pemikiran barat ke benak masyarakat dilakukan dengan mendidik putra-putri kaum muslimin yang memiliki potensial dalam institusi-institusi pendidikan mereka, melalui berbagai program beasiswa yang mereka tawarkan, seperti misalnya program beasiswa Fulbright (USA), khususnya dalam bidang ilmu sosial-humaniora, ilmu pemerintahan, ilmu agama, dan ilmu ekonomi.
Orang-orang ini, setelah menyelesaikan pendidikan tingkat tinggi mereka, biasanya berpotensi menduduki posisi-posisi penting di berbagai bidang, dan setelah kembali ke tengah-tengah masyarakatnya akan secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar mempropagandakan dan memperjuangkan pemikiran-pemikiran Barat dan merusak pemikiran-pemikiran Islam di tengah masyarkat.
Mereka juga secara sadar atau tidak sadar menjalankan program-program penjajah Barat, seperti misalnya kelompok Mafia Berkley yang terkenal di jaman orde baru, yang memformat sistem ekonomi Indonesia mengikuti program penjajah. Ketika cengkraman penjajah Barat pada suatu negeri cukup kuat, berikutnya mereka akan mengarahkan sistem pendidikan negara tersebut agar dapat menopang rencana mereka untuk menjajah negeri tersebut, dengan menjadikannya seperti sistem pendidikan dalam sistem sekuler kapitalisme. Dengan itu mereka dapat mencetak pengemban dan pembela-pembela ideologi mereka langsung di negeri jajahan.
Selain itu dengan terbukanya (globalisasi) sistem pendidikan di negara tersebut, maka penjajah akan dapat lebih leluasa mengendalikan sumberdaya manusia di negeri tersebut, termasuk akses terhadap data-data penting sumberdaya alamnya. Termasuk juga menjadikan para ilmuwan di negeri tersebut untuk bekerja bagi kepentingan mereka. Ini dilakukan misalnya dengan memberikan dana bantuan penelitian di bidang-bidang non sains dan teknologi maupun kerjasama-kerjasama langsung antar perguruan tinggi terutama dalam bidang eksplorasi sumber daya alam.
Dalam masalah pendanaan pendidikan, negara terjajah, yang biasanya lemah secara ekonomi, dipaksa agar memperkecil subsidi pendidikan ataupun menghilangkan subsidi negara pada institusi pendidikan milik negara, serta mengubah institusi-institusi pendidikannya menjadi sekedar semacam "perusahaan milik negara". Akibatnya tentu adalah mahalnya biaya pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Walhasil negara tersebut akan kekurangan sumber daya manusia yang berpendidikan tinggi. Kekurangan SDM berkualitas tinggi ini justru menjadi keuntungan bagi penjajah, karena dengan begitu kebanyakan SDM adalah tenaga teknis maupun tenaga kasar, yang murah dan menguntungkan para pemilik modal.
Penerapan sistem pendidikan sekuler kapitalis serta masuknya pemikiran-pemikiran sekuler kapitalis dalam bidang pendidikan dapat sangat jelas dilihat di Indonesia. Antara lain dalam bidang pendanaan, pemerintah mulai mengubah perguruan tinggi-perguruan tinggi (PT) negeri terkenal menjadi bentuk BHMN dan nantinya BHP, yang memiliki otonomi luas terpisah dari pemiliknya (pemerintah). Dalam masalah dana dari pemerintah (dana hibah maupun dana penelitian), sekarang memperlakukan antara PTS dan PTN secara sama, yaitu memiliki peluang yang sama untuk mendapat dana-dana tersebut. Di bidang kurikulum pun sekarang tidak ada lagi kurikulum nasional, yang akan ada hanya standar-standar kompetensi siswa. Peran lembaga rangking perguruan tinggi asing pun sudah mulai terasa. Keberadaan majelis wali amanat, yang merupakan copy paste dari sistem board of trustee di universitas-universitas Amerika USA, lebih memperjelas pengaruh pemikiran sekuler kapitalis dalam sistem pendidikan tinggi.
Walhasil, dapat kita prediksi bila penjajahan sekuler kapitalisme dalam bidang pendidikan tidak dihentikan, maka gambaran dunia pendidikan di Indonesia akan semakin suram. Akan kita lihat PTS menjadi lebih kuat lebih berkualitas dan lebih dominan dalam dunia pendidikan, disertai dengan munculnya PT-PT swasta asing. Orientasi kurikulum PT akan mengikuti perkembangan pasar. Mahalnya pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) bagi kebanyakan masyarakat. Munculnya sistem pinjaman siswa (student loans) untuk membayar biaya kuliah. Munculnya lembaga akreditasi dan perangkingan swasta. Desentralisasi sistem pendidikan dasar dan menengah, dan otonomi total (bidang pendanaan maupun akademik) universitas-universitas milik negara. [ ]
Referensi
Greg Russell, Bentuk Pemerintahan Berdasarkan Konstitusi (terj.), Demokrasi, Office of International Information Programs, US. Dept. of States., tanpa tahun.
Richard C.Schroeder, Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat (terj.), Office of International Information Programs – United States Dept. of States, 2000.
The center on Education Policy, Washington D.C., The Federal Role in US Education, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.
Tiffany Danitz, The Standards Revolution In U.S. Schools, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.
Anonim, The Federal Role in Education - Overview , US Department of Education in http://www.ed.gov
Anonim, College Rankings, America’s "Top" Schools, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Judith S. Eaton, An Overview of U.S. Accreditation, publication of Council for Higher Education Accreditation, tanpa tahun .
Robert H. Bruininks, Public Universities In The United States, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
James W. Wagner, What Is A Large, Private Research University?, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Anonim, The Cost Of College In The United States, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Martina Schulze, Possible Sources Of Financial Aid, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, , vol 10 no. 2, November 2005.
Margaret S. Branson, At The Core Of U.S. Education, A Passion For Learning, US Society and Values, e-journals of the U.S.. Department of State, vol 5 no. 2, June 2000.
Hizbut Tahrir, How the Khilafah was Destroyed, Khilafah Publication, London 2000